Anak Sholih Sholihah Karunia Alloh





Sholih dan sholihah adalah takdir Alloh ‘Azza wa Jalla

Di antara hal yang harus kita imani ialah, baik dan buruknya anak sudah ditentukan oleh Alloh ‘Azza wa Jalla sejak dia di rahim ibu. Hanya Alloh-lah yang menjadikan sesuatu dan yang menentukan semua urusan. Perkara ini harus kita yakini agar kita tidak sombong dan membanggakan diri bila berhasil mendidik anak, dan tidak putus asa bila kita sudah berusaha mendidik semaksimal mungkin namun anak belum menjadi baik. Misalnya anak Nabi Nuh ‘Alaihissalam yang durhaka padahal orang tuanya sudah mendidiknya.

Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu (berada di tempat yang terpencil): “Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu bersama orang-orang yang kafir.” Anaknya menjawab: “Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!” (QS. Hud [11]: 42-43)

Dalam ayat ini terdapat teladan agar kita tidak putus asa ketika belum berhasil mendidik anak.

Adapun dalil wajibnya kita mengimani takdir ialah hadits Abdulloh bin Mas’ud Radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata: Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita kepada kami—dan beliau adalah orang yang jujur dan bisa dipercaya:

“Sesungguhnya setiap kalian telah mengalami proses penciptaan dalam perut ibunya selama empat puluh hari (sebagai nuthfah). Kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga kemudian menjadi segumpal daging selama itu pula. Selanjutnya Alloh mengutus malaikat untuk meniupkan roh ke dalamnya dan diperintah untuk menulis empat perkara, yaitu: menentukan rezekinya, ajalnya, amalnya serta sengsara atau bahagianya. Demi Dzat yang tiada sembahan selain Dia, sesungguhnya ada salah seorang di antara kalian yang telah melakukan amalan penghuni surga sampai jaraknya dengan surga hanya tinggal sehasta, namun karena sudah didahului takdir, maka ia pun melakukan perbuatan ahli neraka, lalu masuklah ia ke dalam neraka. Dan sungguh ada pula salah seorang di antara kalian yang telah melakukan perbuatan ahli neraka sampai jaraknya dengan neraka hanya tinggal sehasta, namun karena sudah didahului takdir, maka ia pun melakukan perbuatan ahli surga, dan masuklah ia ke dalam surga.” (Shohih Muslim 4781)



Orang tua wajib berikhtiar

Orang yang beriman kepada takdir bukan berarti meninggalkan usaha, karena Alloh ‘Azza wa Jalla memerintah kita agar berilmu lalu beramal. Bukankah Alloh ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk mengerjakan sholat? Bukankah kita disuruh menikah agar punya anak? Bukankah kita diperintah untuk menuntut ilmu agar menjadi orang yang berilmu dan beramal? Bukankah anak yang pandai membaca al-Qur’an karena dia belajar? Bukankah Alloh melarang kita mengikuti jalan menuju neraka? Baca surat at-Tahrim ayat no. 6.

Dari Abu Huroiroh Radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) :

“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Lalu kedua orang tuanyalah yang membuatnya menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi. Sebagaimana seekor hewan yang melahirkan anak tanpa cacat, apakah kamu merasakan hidungnya ada yang terpotong?” (Shohih Muslim 4803)

Hadits ini menerangkan bahwa kita tidak cukup bergantung pada takdir, namun kita wajib berusaha. Sebagaimana orang yang sakit, dia tidak hanya bergantung pada takdir, tapi pergi ke dokter untuk berobat. Orang tua yang menginginkan anaknya sholih pun hendaknya berusaha pula.

Imam Badruddin berkata: Kedua orang tualah yang mengajarinya beragama Yahudi atau Nasrani dan yang memalingkan dari fitrahnya sehingga dia mengikuti agama orang tuanya. (Umdatul Qori’ Syarah Bukhori 13/39)

Oleh karena itu, kami berwasiat kepada diri kami sendiri dan kepada pembaca seluruhnya, hendaknya kita berhati-hati ketika memutuskan ke mana kita akan menyekolahkan anak, mulai dari taman kanak-kanak sampai sekolah lanjutan. Mengapa? Karena guru, teman bergaul dan pelajaran sekolah akan sangat mempengaruhi pendidikan anak. Bukankah anak yang diajari menyanyi dia pun akan menyanyi, dan yang diajari membaca al-Qur’an dia pun membaca al-Qur’an? Tentunya ini semua bila kita ingin memiliki anak yang sholih dan sholihah.

Dari Abul Abbas Abdulloh bin Abbas Radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata: Suatu hari aku berada di belakang Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau bersabda (yang artinya):

“Wahai Anak, aku akan ajarkan kepadamu beberapa patah kata: Jagalah Alloh, niscaya Dia akan senantiasa menjagamu. Bila engkau meminta sesuatu, mintalah kepada Alloh, dan bila engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Alloh. Ketahuilah, jika semua umat manusia bersatu padu untuk memberikan suatu kebaikan kepadamu, niscaya mereka tidak dapat melakukannya kecuali bila sesuatu itu telah ditulis oleh Alloh bagimu. Dan jika semua umat manusia bersatu padu untuk mencelakaimu, niscaya mereka tidak dapat mencelakaimu kecuali bila sesuatu itu telah ditulis oleh Alloh bagimu. Pena telah diangkat dan catatan-catatan (amal) telah mengering.” (HR. at-Tirmidzi, hadits shohih, Silsilah ash-Shohihah 5/381)

Adapun maksud menjaga Alloh ‘Azza wa Jalla adalah dengan cara menjaga hak-Nya, yaitu menjalankan yang wajib dan sunnah dan menjauhi larangan-Nya. Sedangkan yang dimaksud dengan penjagaan Alloh ‘Azza wa Jalla terhadap manusia ada dua bentuk: Alloh menjaga urusan dunianya dengan menyehatkan badannya, melapangkan rezekinya, menjaga anak dan istrinya, dan lain-lain. (Tuhfatul Ahwadzi 6/308)

Ini adalah satu contoh pendidikan anak yang dicontohkan oleh Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu hendaknya ketika anak masih kecil diajari tauhid sehingga ia mengenal Robbnya.



Hubungan antara takdir dengan ikhtiar (usaha)

Mungkin kita bertanya: Bagaimana kita menghubungkan antara takdir dengan usaha? Karena ayat atau hadits tidak mungkin bertentangan satu sama lain, karena keduanya merupakan wahyu Alloh yang diturunkan kepada Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullaah berkata: Sebagian ulama berkata: “Takdir adalah rahasia Alloh ‘Azza wa Jalla kepada makhluknya. Kita tidak mungkin mengetahuinya melainkan setelah peristiwa itu terjadi, yang baik atau yang buruk.” (al-Qoulul mufid ala kitabit tauhid 2/396)

Ali bin Abu Tholib Radhiyallaahu ‘anhu berkata: Ketika kami sedang mengiring jenazah di Baqi’ Ghorqod (sebuah tempat pemakaman di Madinah), datanglah Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menghampiri kami. Beliau segera duduk dan kami pun ikut duduk di sekeliling beliau yang ketika itu memegang sebatang tongkat kecil. Beliau menundukkan kepalanya dan mulailah membuat goresan-goresan kecil di tanah dengan tongkatnya itu, kemudian beliau bersabda: “Tidak ada seorang pun dari kamu sekalian atau tidak ada satu jiwa pun yang hidup kecuali telah Alloh tentukan kedudukannya, di surga ataukah di neraka, serta apakah ia akan sengsara ataukah bahagia.”

Lalu seorang lelaki tiba-tiba bertanya: Wahai Rosululloh, kalau begitu apakah tidak sebaiknya kita berserah diri kepada takdir kita dan meninggalkan amal-usaha? Rosululloh Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang telah ditentukan sebagai orang yang bahagia, maka dia akan mengarah kepada perbuatan orang-orang yang berbahagia. Dan barangsiapa yang telah ditentukan sebagai orang yang sengsara, maka dia akan mengarah kepada perbuatan orang-orang yang sengsara.” Kemudian beliau melanjutkan sabdanya: “Beramallah! Karena setiap orang akan dipermudah. Adapun orang-orang yang ditentukan sebagai orang yang bahagia, maka mereka akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang bahagia. Adapun orang-orang yang ditentukan sebagai orang yang sengsara, maka mereka juga akan dimudahkan untuk melakukan amalan orang-orang sengsara.”

Kemudian beliau membacakan surat al-Lail ayat 5-10 berikut (yang artinya): Adapun orang yang memberikan hartanya di jalan Alloh dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar. (Shohih Muslim 4786)

Inilah hubungan antara takdir dan usaha. Akhirnya, semoga Alloh ‘Azza wa Jalla memberi kemampuan kepada kita semuanya untuk bersungguh-sungguh dan bersabar mendidik anak menuju jalan yang diridhoi-Nya, amin.

[ Oleh: Ust. Aunur Rofiq bin Ghufron ]
Dinukil dari Majalah al-Mawaddah :. Edisi 02 Tahun ke-4.: Rubrik Pendidikan Anak Muslim.

“Wasiat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada Ibnu Abbas -radhiallahu anhu-




Abu Khaulah Zainal Abidin


Wahai para orang tua….
Pernahkah kau katakan kepada anak-anakmu: (-”Jagalah hak-hak ALLAH, niscaya ALLAH pun akan menjaga kalian.“-) ?. Kemudian apa kata mereka setelah mendengar wejangan ini? Mengertikah mereka, apa makna menjaga ? Ingat! Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- menyampaikan kalimat ini kepada Ibnu Abbas -radhiallahu anhu-, yang usianya ketika itu belum mencapai 10 tahun. Dan Ibnu Abbas -radhiallahu anhu- mengerti makna kiasan -yang sangat indah dan halus- tersebut yang artinya menjaga perintah dan larangan ALLAH.
Pernahkah kau katakan kepada anak-anakmu:(-”Jika berdo’a, berdo’alah kepada ALLAH. Dan jika meminta pertolongan, mintalah kepada ALLAH.”-) ?Melalui lafadznya saja sudah dimaklumi, bahwa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bukan sedang memerintahkan Ibnu Abbas berdo’a – melalui wasiat ini-, bukan pula sedang mengajarkannya, tetapi Beliau -Shallallahu alaihi wa sallam- sedang mengajarkan arti Tauhid dan menanamkannya.
Ya, do’a adalah inti dari ibadah, karena dengan berdo’a seseorang secara tak langsung telah mengakui akan adanya ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa. Sebab, mustahil seseorang akan berdo’a atau meminta jika yang diserunya itu tak ia yakini ada. Karenanya, dengan mengajari anak berdo’a, artinya kita telah menanamkan kepadanya keyakinan akan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa Yang Mencipta, Memiliki, dan Mengatur alam semesta ini.
Ya, do’a adalah inti dari ibadah, karena dengan berdo’a seseorang secara tak langsung telah mengakui bahwa ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa itu Maha Mendengar dan Mengetahui. Sebab, mustahil seseorang akan berdo’a dan meminta manakala ia tak meyakini bahwa yang diserunya itu mampu mendengar dan memahami, sebagaimana tak mungkinnya seseorang mengutarakan hajat dan maksudnya kepada yang tak mampu mendengar dan mengetahui isi pembicaraannya. Karenanya, dengan mengajari anak berdo’a, artinya kita telah menanamkan kepadanya keyakinan bahwa ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa itu Maha Mendengar dan Mengetahui.
Ya, do’a adalah inti dari ibadah, karena dengan berdo’a seseorang secara tak langsung telah mengakui bahwa ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa itu Maha Kaya dan Memberi Kekayaan. Sebab, mustahil seseorang akan berdo’a dan meminta manakala ia tak meyakini bahwa yang diserunya itu kaya dan mampu memberikan kekayaan, sebagaimana tak mungkinnya seseorang meminta kepada yang miskin dan tak mampu membagi kekayaannya. Karenanya, dengan mengajari anak berdo’a, artinya kita telah menanamkan kepadanya keyakinan bahwa ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa itu Maha Kaya dan Memberi Kekayaan.
Ya, do’a adalah inti dari ibadah, karena dengan berdo’a seseorang secara tak langsung telah mengakui bahwa ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa itu Maha Memberi dan Mengabulkan Do’a. Sebab, mustashil seseorang akan berdo’a dan meminta manakala ia tak meyakini bahwa yang diserunya itu mau dan mampu memenuhi permintaannya, sebagaimana tak mungkinnya seseorang meminta kepada yang terkenal pelit atau bakhil. Karenanya, dengan mengajari anak berdo’a, artinya kita telah menanamkan kepadanya keyakinan bahwa ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa itu Maha Memberi dan Mengabulkan Do’a. Dan keyakinan ini merupakan pula tanda baik sangkanya seorang hamba kepada ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa.
Ya, do’a adalah inti dari ibadah, karena dengan berdo’a seseorang secara tak langsung telah mengakui kelemahannya dan butuhnya ia akan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa. Sebab, mustahil seseorang akan berdo’a dan meminta manakala ia merasa mampu memenuhi segala kebutuhannya dan mengatasi segala masalahnya tanpa bantuan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa. Karenanya, dengan mengajari anak berdo’a, artinya kita telah menanamkan kepadanya keyakinan bahwa ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa- lah tempat bergantung dan satu-satunya zat yang layak diibadahi.
Ya, do’a merupakan cara paling ampuh untuk menanamkan Tauhid kepada anak. Bagaimana dengan anak-anak kita? Sudahkah mereka pandai dan terbiasa berdo’a ? Atau sudahkah kita mengajarkan mereka do’a-do’a yang bisa mereka ucapkan di sepanjang siang dan malam mereka?
Kemudian…
Pernahkan kau katakan kepada anak-anakmu: (-”Ketahuilah! Sesungguhnya, seandainya seluruh manusia bersatu ingin memberikan kebaikan kepadamu, mereka tak akan sanggup kecuali sebatas apa yang telah ALLAH tetapkan bagimu. Juga, seandainya seluruhnya mereka bersatu ingin mendatangkan keburukan kepadamu, mereka tak akan sanggup kecuali sebatas apa yang telah ALLAH tetapkan atasmu. Kalam telah diangkat dan lembaran-lembaran catatan takdir telah terlanjur kering.”-) ?
Sungguh sulit dibayangkan, anak yang belum lagi mencapai usia 10 tahun mendengarkan ungkapan-ungkapan seperti di atas. Kalau bukan karena cerdas atau terbiasanya mendengar kalimat-kalimat bermutu, tentu tak mungkin seorang anak seumurnya memahami perkara ini. Maka, obrolan macam apa yang biasa didengar anak kita, jika kalimat-kalimat semacam di atas terasa sulit mereka pahami?
Tentu saja Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- menyadari sekali bahwa Ibnu Abbas -radhiallahu anhu- pasti memahaminya. Dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam- ingin menanamkan keyakinan kepada Taqdir -baik dan buruk- melalui kiasannya yang demikian indah, sekaligus mengajari Ibnu Abbas -radhiallahu anhu- bersikap optimis. Ya, semuda itu seorang anak sudah harus tahu perkara semacam ini. Bagaimana dengan anak-anak kita?
Kemudian…
Pernahkah kau katakan kepada anak-anakmu: (-”Ingatlah kepada ALLAH tatkala kau sedang dalam kelapangan, maka ALLAH pun akan ingat kepadamu ketika engkau dalam kesempitan.”-) ? Mengertikah mereka akan maksudnya? Mengertikah mereka kalau yang dimaksudkan - Ingatlah kepada ALLAH tatkala kau sedang dalam kelapangan- adalah bersyukur, bersyukur manakala kita sedang dalam keadaan sehat, senang, atau hidup berkecukupan apalagi berlebihan? Dan mengertikah mereka kalau yang dimaksud - ALLAH pun akan ingat kepadamu ketika engkau dalam kesempitan- adalah datangnya pertolongan ALLAH kepada kita, di antaranya dikaruniakan kesabaran dan kekuatan untuk bersabar?
Ya, sejak kecil seorang anak sudah harus diajar untuk mengerti arti bersyukur. Dibiasakan untuk senantiasa -bahkan lebih- mengingat ALLAH ketika sedang bersenang hati, bukan justru menjadi lalai. Dan membiasakan anak -atau siapa saja- ingat kepada ALLAH sering lebih efektif justru ketika mereka sedang dalam keadaan gembira. Lakukan ini! Yakni, ketika kita sedang bersenang-senang dengan mereka -ketika sedang bertamasya dan berlari-lari di taman, atau sedang bercengkrama dan bercanda di rumah, misalnya- berhentilah sejenak dan pegang tangannya, kemudian katakan kepadanya, ” Kau bahagia.., senang ? Bersyukurlah kepada ALLAH !” Juga yang seperti ini bisa dilakukan seorang suami kepada isterinya, atau sebaliknya. Di saat-saat mereka bersenang-senang, bertanyalah yang satu kepada yang lainnya, “Kau bahagia…, kau senang ? Bersyukurlah kepada ALLAH !
Juga hendaknya kita menyadari bahwa Syukur dan Sabar itu ibarat dua muka dari satu mata uang, tak mungkin yang satu ada tanpa yang lainnya. Seorang yang tak pandai bersyukur -ketika senang- sudah pasti tak mampu bersabar -ketika susah-. Bagaimana dia akan mampu bersabar ketika menghadapi penderitaan, sedangkan ni’mat saja tak mampu ia rasakan dan syukuri. Juga dapat kita ambil manfa’at dari wasiat di atas adalah, bahwa menumbuhkan sikap sabar dan kuat -pada anak- di dalam menahan kesusahan harus dimulai dengan mengajarkan mereka untuk pandai-pandai bersyukur tatkala senang.
Kemudian…
Pernahkan kau katakan kepada anak-anakmu: (-”Ketahuilah, bahwa apa yang tak pantas bagi mu tak akan ALLAH timpakan kepadamu. Dan apa yang ALLAH timpakan kepadamu itu memang layak bagimu.”-) ? Mengertikah mereka akan maksudnya? Mengertikah mereka, bahwa ALLAH SWT tak pernah salah di dalam menetapkan taqdir ?
Ya, sedini mungkin seorang anak harus tahu, bahwa ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tidak pernah berbuat dzolim kepada hamba-Nya. Semua yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tetapkan atas hamba-Nya berdasarkan Pengetahuan-Nya, Kebijaksanaan-Nya, Keadilan-Nya, dan Kasih Sayang-Nya. ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tak akan menjebloskan hamba-Nya ke dalam neraka, seandainya hamba tersebut tak pantas masuk ke dalamnya. Begitu pula Ia tak akan memasukkan hamba-Nya ke sorga, seandainya hamba tersebut tak pantas masuk ke dalamnya. Dan seseorang yang semula di neraka -disebabkan dosa-dosanya- mungkin saja akhirnya diangkat ke sorga dengan beberapa sebab, seperti mendapatkan syafa’at dari yang diijinkan ALLAH untuk memberi syafa’at, selesai sudah adzab baginya, atau memperoleh ampunan dari ALLAH. Tetapi, tak mungkin seseorang yang telah ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa masukkan ke dalam sorga kemudian dikeluarkan kembali dan dijebloskan ke dalam neraka, sebagaimana sering kita dengar dari riwayat yang dianggap sebagai ucapan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-. Sungguh mustahil ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa memasukkan ke sorga seseorang yang tidak layak menikmatinya, kemudian setelah itu Ia keluarkan dan jebloskan ke dalam neraka. Perhitungan ALLAH sangat teliti dan Ia tidak pernah salah dalam menetapkan taqdir. Bukankah seseorang yang telah dimasukkan ke dalam sorga tak akan sekali-kali dikeluarkan kembali, sebagaimana firman ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa (-Yang artinya: “Dan sekali-kali mereka -yang telah berada di sorga- tak akan lagi pernah dikeluarkan darinya.” / Al Hijr:48-) Ya, sedini mungkin seorang anak harus tahu, bahwa ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa tidak pernah salah di dalam menetapkan taqdir.
Kemudian…
Pernahkah kau katakan kepada anak-anakmu: (-”Ketahuilah, bahwa pertolongan ALLAH bersama kesabaran, perjuangan itu bersama pengorbanan, dan bersama kesulitan ada kemudahan.” -) ? Mengertikah mereka akan ucapan atau ungkapan semacam ini ? Ya, bahwa ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa akan senantiasa menolong orang yang sabar. Begitu pula kita katakan , “Mana ada perjuangan tanpa pengorbanan.” Dan anak-anak kita diajak mengerti, bahwa tidak ada yang gratis di dalam hidup ini. Semua harus ditempuh dengan perjuangan dan memerlukan pengorbanan. Namun demikian, kita ajarkan pula kepada mereka arti sebuah usaha dan sikap optimis, bahwa di balik kesulitan-kesulitan pasti ada kemudahan-kemudahan dan jalan keluar.
Ya, sudahkah itu semua kita sampaikan kepada anak-anak kita, walau mungkin dengan cara dan ungkapan yang berbeda ? Sudahkah anak-anak kita mengetahui -sejak usia mereka belum mencapai 10 tahun, bahwa:
  • Ada hak-hak ALLAH yang harus dijaga, berupa perintah dan larangan-Nya.
  • Berdo’a kepada ALLAH adalah wujud paling nyata dari perbuatan mentauhidkan ALLAH.
  • Tak ada yang terjadi tanpa kehendak ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa.
  • ALLAH tidak pernah salah di dalam menetapkan taqdir.
  • ALLAH menyukai orang yang sabar, bersungguh-sungguh, dan optimis.
Ya, sudahkah mereka pernah mendengar hadits ini dan memahaminya ?

عَنْ عبدِ الله بنِ عبَّاسٍ رضي الله عنهما قالَ : كُنتُ خَلفَ النَّبيِّ r فقال :
يا غُلامُ إنِّي أعلِّمُكُ كَلماتٍ:
احفَظِ الله يَحْفَظْكَ، احفَظِ الله تَجِدْهُ تجاهَك، إذا سَأَلْت فاسألِ الله، وإذا استَعنْتَ فاستَعِنْ باللهِ،
واعلم أنَّ الأُمَّةَ لو اجتمعت على أنْ ينفعوك بشيءٍ، لم ينفعوك إلاَّ بشيءٍ قد كَتَبَهُ الله لكَ،
وإنِ اجتمعوا على أنْ يَضرُّوكَ بشيءٍ، لم يضرُّوك إلاَّ بشيءٍ قد كتبهُ الله عليكَ،
رُفِعَتِ الأقلامُ وجَفَّتِ الصُّحُفُ .
رواه الترمذيُّ ، وقال : حديثٌ حسنَ صَحيحٌ .وفي رواية غير التِّرمذي :
احفظ الله تجده أمامَك، تَعرَّفْ إلى اللهِ في الرَّخاء يَعْرِفْك في الشِّدَّةِ،
واعلَمْ أنَّ ما أخطَأَكَ لم يَكُن لِيُصِيبَكَ، وما أصابَكَ لم يَكُن ليُخطِئَكَ،
واعلَمْ أنَّ النَّصْرَ مَعَ الصَّبر، وأنَّ الفَرَجَ مَعَ الكَرْبِ ، وأنَّ معَ العُسْرِ يُسراً.

Dari Abdullah bin Abbas -radhiallahu anhu-. Ia berkata: Dahulu aku berada dibelakang Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di atas kendaraannya kemudian ia berkata: “Wahai anak muda, sesungguhnya aku akan mengajarkan kepadamu beberapa kalimat; Jagalah ALLAH niscaya Ia akan menjagamu. Jagalah ALLAH niscaya kau akan mendapati NYA di hadapanmu. Jika engkau berdo’a, berdo’alah kepada ALLAH. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada ALLAH. Dan ketahuilah! Sesungguhnya, seandainya seluruh manusia bersatu ingin memberikan kebaikan kepadamu, mereka tak akan sanggup kecuali sebatas apa yang telah ALLAH tetapkan bagimu. Juga, seandainya seluruhnya mereka bersatu ingin mendatangkan keburukan kepadamu, mereka tak akan sanggup kecuali sebatas apa yang telah ALLAH tetapkan atasmu. Kalam telah diangkat dan lembaran-lembaran catatan taqdir telah terlanjur kering.” (H.R. Tirmidzi dan ia berkata: Hadits hasan shohih.)Dan di dalam riwayat selain Tirmdzi:
Jagalah ALLAH niscaya engkau akan mendapatinya berada didepan mu. Ingatlah ALLAH ketika engkau dalam kelapangan, maka Ia akan mengingatmu ketika engkau dalam kesempitan. Dan ketahuilah, bahwa apa yang tak pantas bagi mu maka tak akam ALLAH timpakan kepadamu. Dan apa yang ALLAH timpakan kepadamu itu memang layak bagimu.Dan ketahuilah, bahwa pertolongan ALLAH bersama kesabaran, perjuangan itu bersama pengobanan, dan bersama kesulitan ada kemudahan.”


di salin dari :http://rumahbelajaribnuabbas.wordpress.com/jendela-orang-tua/%e2%80%9cwasiat-nabi-shallallahu-alaihi-wa-sallam-kepada-ibnu-abbas-radhiallahu-anhu/

Ternyata Mencium Anak-Anak Mendatangkan Rahmat Allah !!





Yang Kadang Terlupakan Oleh Kedua Orang Tua :

Ternyata Mencium Anak-Anak Mendatangkan Rahmat Allah !!


Sering kita dapati seseorang yang mendidik anaknya dengan cara yang keras…dengan menggunakan pukulan..bahkan tendangan…

Bahkan jika tangannya telah lelah memukul maka iapun menggunakan tongkat atau cambuk untuk memukul anaknya. Sementara jika bertemu dengan sahabat-sahabatnya jadilah ia orang yang paling lembut dan ramah.

Memang benar bahwa boleh bagi seorang ayah atau ibu untuk mendidik anaknya dengan memukul, akan tetapi hal itu keluar dari hukum asal. Karena hukum asal dalam mendidik…bahkan dalam segala hal adalah dengan kelembutan. Kita –sebagai orang tua- tidak boleh berpindah kepada metode pemukulan kecuali jika kondisinya mendesak. Itupun tidak boleh dengan pemukulan yang semena-mena, semau kita, seperti pukulan yang menimbulkan bekas…terlebih lagi yang mematahkan tulang…

Sering syaitan menghiasi para orang tua dengan menjadikan mereka menyangka bahwa metode kekerasan dalam mendidik anak-anak adalah metode yang terbaik dan praktis serta metode yang singkat dan segera mendatangkan keberhasilan. Karena dengan kekerasan dalam sekejap sang anak menjadi penurut. '

Ingatlah ini semua hanyalah was-was syaitan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda :

مَا كَانَ الرِّفْقُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا نُزِعَ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ

"Tidaklah kelembutan pada sesuatupun kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah dicabut dari sesuatupun kecuali akan memperburuknya" (Dishahihkan oleh Al-Albani)

Memang benar…jika seorang anak disikapi keras maka ia akan nurut dan patuh…akan tetapi hanya sekejap dan sementara…

Kenyataan yang ada menunjukan bahwa jika seorang ayah atau ibu yang senantiasa memukuli dan mengerasi anak-anak mereka akan menimbulkan dampak buruk:

- Jadilah kedua orang tua tersebut berhati keras…, hilang kelembutan dari mereka, karena mereka telah membiasakan kekerasan dalam hati mereka

- Bahkan anak-anak mereka yang sering mereka pukuli pun menjadi keras…, keras dan kasar sikap mereka dan juga keras hati mereka.

- Bahkan tidak jarang sang anak yang dikerasi maka semakin menjadi-jadi keburukannya. Terutama jika sang anak merasa aman dari control kedua orang tuannya. Hal ini menunjukan sikak keras terhadap seringnya tidak membuahkan keberhasilan dalam mendidik anak-anak

- Kalaupun metode kekerasan berhasil merubah sang anak menjadi seorang anak yang "tidak nakal" maka bagaimanapun akan berbeda hasilnya dengan seorang anak yang dibina dengan kelembutan. Seorang anak yang "tidak nakal" yang merupakan buah metode kekerasan tidak akan memiliki kelembutan dalam sikap dan tutur kata serta kelembutan hati yang dimiliki oleh seorang anak yang dididik dengan penuh kelembutan !!.



Adapun jika kedua orang tua bersikap lembut kepada anak-anak mereka, dan tidak memukul kecuali dalam kondisi terdesak, sehingga tidak keseringan…maka akan menimbulkan banyak dampak positif, diantaranya :

- Kedua orang tua tetap bisa menjaga kelembutan hati keduanya

- Kelembutan hati anak-anak mereka juga bisa terjaga, demikian pula akhlak anak-anak mereka menjadi akhlak yang mulia. Karena mereka telah meneladani kedua orang tua mereka yang selalu bersikap lembut dan sayang kepada mereka

- Anak-anak tatkala telah dewasa maka yang mereka selalu kenang adalah kebaikan, kelembutan, ciuman kedua orang tua mereka yang telah bersabar dalam mendidik mereka. Jadilah mereka anak-anak yang berbakti yang selalu ingin membalas budi kebaikan kedua orang tua mereka.

- Kedua orang tua akan mendapatkan rahmat Allah dan ganjaran dari Allah karena sikap lembut mereka kepada anak-anak mereka



Abu Hurairah –semoga Allah meridhoinya- berkata :

قَبَّلَ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ ، وَعِنْدَهُ الأقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِىُّ جَالِسًا ، فَقَالَ الأقْرَعُ : إِنَّ لِى عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ قَالَ : مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ

"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mencium Al-Hasan bin 'Ali, dan di sisi Nabi ada Al-Aqro' bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro' berkata, "Aku punya 10 orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium". Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallampun melihat kepada Al-'Aqro' lalu beliau berkata, "Barangsiapa yang tidak merahmati/menyayangi maka ia tidak akan dirahmati" (HR Al-Bukhari no 5997 dan Muslim no 2318)

Dalam kisah yang sama dari 'Aisyah –semoga Allah meridhoinya- ia berkata :

جَاءَ أَعْرَابِى إِلَى النَّبِى صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : تُقَبِّلُونَ الصِّبْيَانَ ، فَمَا نُقَبِّلُهُمْ ، فَقَالَ النَّبِى صلى الله عليه وسلم أَوَأَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللَّهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ

"Datang seorang arab badui kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam lalu berkata, "Apakah kalian mencium anak-anak laki-laki?, kami tidak mencium mereka". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau Allah mencabut rasa rahmat/sayang dari hatimu" (HR Al-Bukhari no 5998 dan Muslim no 2317)

Ibnu Batthool rahimahullah berkata, "Menyayangi anak kecil, memeluknya, menciumnya, dan lembut kepadanya termasuk dari amalan-amalan yang diridhoi oleh Allah dan akan diberi ganjaran oleh Allah. Tidakkah engkau perhatikan Al-Aqro' bin Haabis menyebutkan kepada Nabi bahwa ia memiliki 10 orang anak laki-laki tidak seorangpun yang pernah ia cium, maka Nabipun berkata kepada Al-Aqro' ((Barang siapa yang tidak menyayangi maka tidak akan disayang)).

Maka hal ini menunjukan bahwa mencium anak kecil, menggendongnya, ramah kepadanya merupakan perkara yang mendatangkan rahmat Allah. Tidak engkau perhatikan bagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menggendong (*cucu beliau) Umaamah putrinya Abul 'Aash (*suami Zainab putri Nabi) di atas leher beliau tatkala beliau sedang sholat?, padahal sholat adalah amalan yang paling mulia di sisi Allah dan Allah telah memerintahkan kita untuk senantiasa khusyuk dan konsentrasi dalam sholat. Kondisi Nabi yang menggendong Umaamah tidaklah bertentangan dengan kehusyu'an yang diperintahkan dalam sholat. Nabi kawatir akan memberatkan Umaamah (*si kecil cucu beliau) kalau beliau membiarkannya dan tidak digendong dalam sholat.

Pada sikap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ini merupakan teladan yang paling besar bagi kita, maka hendaknya kita meneladani beliau dalam menyayangi anak-anak baik masih kecil maupun yang besar, serta berlemah lembut kepada mereka" (Syarh Shahih Al-Bukhari karya Ibnu Batthool, 9/211-212)

Syaikh Ibnu Al-'Utsaimin rahimahullah berkata, "Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ (Barangsiapa yang tidak merahamati maka tidak dirahmati), yaitu barangsiapa yang tidak merahmati manusia maka ia tidak akan dirahmati oleh Allah Azza wa Jalla –kita berlindung kepada Allah akan hal ini-, serta Allah tidak memberi taufiq kepadanya untuk merahmati. Hadits ini menunjukan bahwa bolehnya mencium anak-anak kecil karena rahmat dan sayang kepada mereka, apakah mereka anak-anakmu ataukah cucu-cucumu dari putra dan putrimu atau anak-anak orang lain. Karena hal ini akan mendatangakna rahmat Allah dan menjadikan engkau memiliki hati yang menyayangi anak-anak. Semakin seseorang rahmat/sayang kepada hamba-hamba Allah maka ia semakin dekat dengan rahmat Allah. Bahkan Allah mengampuni seorang wanita pezina tatkala wanita pezina tersebut merahmati seekor anjing yang menjilat-jilat tanah karena kehausan…

Jika Allah menjadikan rasa rahmat/kasih sayang dalam hati seseorang maka itu merupakan pertanda bahwa ia akan dirahmati oleh Allah…"

"Maka hendaknya seseorang menjadikan hatinya lembut, ramah, dan sayang (kepada anak-anak), berbeda dengan kondisi sebagian orang bodoh. Bahkan tatkala anaknya yang masih kecil menemuinya sementara ia sedang di warung kopi maka iapun membentak dan mengusir anaknya. Ini merupakan kesalahan. Lihatlah bagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik dan mulia akhlak dan adabnya. Suatu hari beliau sedang sujud –tatkala beliau mengimami para sahabat- maka datanglah Al-Hasan bin Ali bin Abi Thoolib, lalu –sebagaiman sikap anak-anak-, Al-Hasanpun menaiki pundak Nabi yang dalam kondisi sujud. Nabipun melamakan/memanjangkan sujudnya. Hal ini menjadikan para sahabat heran (*mereka berkata :

هَذِهِ سَجْدَةٌ قَدْ أَطَلْتَهَا، فَظَنَنَّا أَنَّهُ قَدْ حَدَثَ أَمْرٌ، أَوْ أَنَّهُ يُوحَى إِلَيْكَ

"Wahai Rasulullah, engkau telah memperpanjang sujudmu, kami mengira telah terjadi sesuatu atau telah diturunkan wahyu kepadamu"-pen),

Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada mereka,

ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ، وَلَكِنَّ ابْنِي ارْتَحَلَنِي، فَكَرِهْتُ أَنْ أُعَجِّلَهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ

"Bukan…, akan tetapi cucuku ini menjadikan aku seperti tunggangannya, maka aku tidak suka menyegerakan dia hingga ia menunaikan kemauannya" (*HR Ahmad no 16033 dengan sanad yang shahih-pen dan An-Nasaai no 1141 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Yaitu aku tidak ingin segera bangkit dari sujudku hingga ia menyelesaikan keinginannya. Ini buah dari rasa kasih sayang.

Pada suatu hari yang lain Umamah binti Zainab putri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang masih kecil dibawa oleh Nabi ke masjid. Lalu Nabi sholat mengimami para sahabat dalam kondisi menggendong putri mungil ini. Jika beliau sujud maka beliau meletakkannya di atas tanah, jika beliau berdiri maka beliau menggendongnya. Semua ini beliau lakukan karena sayang kepada sang cucu mungil. Padahal bisa saja Nabi memerintahkan Aisyah atau istri-istrinya yang lain untuk memegang cucu mungil ini, akan tetapi karena rasa kasih sayang beliau. Bisa jadi sang cucu hatinya terikat senang dengan kakeknya shallallahu 'alaihi wa sallam, maka Nabi ingin menenangkan hati sang cucu mungil.

Pada suatu hari Nabi sedang berkhutbah, lalu Al-Hasan dan Al-Husain (*yang masih kecil) datang memakai dua baju –mungkin baju baru-. Baju keduanya tersebut kepanjangan, sehingga keduanya tersandung-sandung jatuh bangun tatkala berjalan. Maka Nabipun turun dari mimbar lalu menggendong keduanya dihadapan beliau (*di atas mimbar) lalu beliau berkata:

صَدَقَ اللهُ إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ نَظَرْتُ إِلَى هَذَيْنِ الصَّبِيَّيْنِ يَمْشِيَانِ وَيْعْثُرَانِ فَلَمْ أَصْبِرْ حَتَّى قَطَعْتُ حَدِيْثِي وَرَفَعْتُهُمَا

"Maha benar Allah…"Hanyalah harta kalian dan anak-anak kalian adalah fitnah", aku melihat kedua anak kecil ini berjalan dan terjatuh, maka aku tidak sabar hingga akupun memutuskan khutbahku dan aku menggendong keduanya" (HR At-Thirmidzi no 2969 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Kemudian beliau melanjutkan khutbah beliau (*lihat HR Abu Dawud no 1016 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Yang penting hendaknya kita membiasakan diri kita untuk menyayangi anak-anak, demikian juga menyayangi semua orang yang butuh kasih sayang, seperti anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang lemah (tidak mampu) dan selain mereka. Dan hendaknya kita menjadikan dalam hati kita rasa rahmat (kasih sayang) agar hal itu menjadi sebab datangnya rahmat Allah bagi kita, karena kita juga butuh kepada rahmat" (dari Syarah Riyaad As-Shoolihiin, dengan sedikit perubahan)

Sungguh mulia akhlak Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada anak-anak…beliau menggendong anak-anak…bahkan dalam sholat beliau, karena kasih sayang kepada anak-anak …mencium anak-anak adalah ibadah…mendatangkan rahmat Allah. Bahkan beliau pernah berjalan cukup jauh hanya untuk mencium putra beliau Ibrahim.

Anas Bin Malik –semoga Allah meridhoinya- berkata :

«مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَرْحَمَ بِالْعِيَالِ مِنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»، قَالَ: «كَانَ إِبْرَاهِيمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالِي الْمَدِينَةِ، فَكَانَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ فَيَدْخُلُ الْبَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ، وَكَانَ ظِئْرُهُ قَيْنًا، فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ، ثُمَّ يَرْجِعُ»

"Aku tidak pernah melihat seorangpun yang lebih sayang kepada anak-anak dari pada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Putra Nabi (yang bernama) Ibrahim memiliki ibu susuan di daerah Awaali di kota Madinah. Maka Nabipun berangkat (*ke rumah ibu susuan tersebut) dan kami bersama beliau. lalu beliau masuk ke dalam rumah yang ternyata dalam keadaan penuh asap. Suami Ibu susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Nabipun mengambil Ibrahim lalu menciumnya, lalu beliau kembali" (HR Muslim no 2316)



Karenanya…bersabarlah wahai para orang tua dalam mendidik anak kalian…sayangilah mereka…peluklah mereka…ciumlah mereka….semuanya akan mendatangkan pahala dan rahmat Allah.


Kisah anak yg menyadarkan kealpaan ayahnya...subhanallah!)


(Kisah anak yg menyadarkan kealpaan ayahnya...subhanallah!)


Ia masih bocah, masih duduk di bangku kelas 3 SD
Suatu kali ustadz di kelasnya memotivasi para siswa untuk menjaga shalat jamaah shubuh
Bagi si anak, Shubuh merupakan sesuatu yg sulit bagi sang bocah
Namun sang bocah telah bertekad utk menjalankan shalat shubuh di masjid


 Lalu dgn cara bagaimana anak ini memulainya?
Dibangunkan ayah? ibu? dengan alarm?...bukan!
Sang anak nekat tak tidur semalaman lantaran takut bangun kesiangan
Semalaman anak begadang, hingga tatkala adzan berkumadang, iapun ingin sgr keluar menuju masjid
Tapi...tatkala ia membuka pintu rumahnya
Suasana sangat gelap, pekat, sunyi, senyap...membuat nyalinya menjadi ciut
Tahukah Anda, apa yg ia lakukan kemudian?
tatkala itu, sang bocah mendengar langkah kaki kecil dan pelan, dengan diiringi suara tongkat memukul tanah...
Ya...ada kakek-kakek berjalan dengan tongkatnya
Sang bocah yakin, kakek itu sedang berjalan menuju masjid
maka ia mengikuti di belakangnya, tanpa sepengetahuan sang kakek
Begitupula cara ia pulang dari masjid
Bocah itu menjadikan itu sebagai kebiasaan
begadang malam, shalat shubuh mengikuti kakek2
Dan ia tidur setelah shubuh hingga menjelang sekolah
Tak ada org tuanya yg tahu, selain hanya melihat sang bocah lbh banyak tidur di siang hari daripada bermain. Dan ini dilakukan sang bocah agar bs begadang malam.
Hingga suatu kali...
Terdengar kabar olehnya, kakek2 itu meninggal
Sontak, si bocah menangis sesenggukan....
Sang ayah heran...”Mengapa kamu menangis, nak? Ia bukan kakekmu...bukan siapa-siapa kamu!”
Saat si ayah mengorek sebabnya, sang bocah justru berkata, “kenapa bukan ayah saja yang meninggal?”
“A’udzu billah..., kenapa kamu berbicara seperti itu?” kata sang ayah heran.
Si bocah berkata, “Mendingan ayah saja yg meninggal, karena ayah tidak pernah memangunkan aku shalat Shubuh, dan mengajakkku ke masjid. ..
Sementara kakek itu....setiap pagi saya bisa berjalan di belakangnya untuk shalat jamaah Shubuh.”
ALLAHU AKBAR! Menjadi kelu lidah sang ayah, hingga tak kuat menahan tangisnya.
Kata-kata anak tersebut mampu merubah sikap dan pandangan sang ayah, hingga membuat sang ayah sadar sebagai pendidik dari anaknya, dan lebih dari itu sebagai hamba dari Pencipta-Nya yg semestinya taat menjalankan perintah-Nya. Sang ayah rajin shalat berjamaah karena dakwah dari anaknya...

" Robbana hablanaa min azwaajina
wa zurriyyatinaa qurrota a’yun waj’alna lil muttaqiina
imaama..”

Qaulan Sadiidaa untuk Anak Kita




بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اَسَّلامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَتُهُ


Remaja. Pernah saya menelusur, adakah kata itu dalam peristilahan agama kita?
Ternyata jawabnya tidak. Kita selama ini menggunakan istilah ‘remaja’ untuk menandai suatu masa dalam perkembangan manusia. Di sana terjadi guncangan, pencarian jatidiri, dan peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Terhadap masa-masa itu, orang memberi permakluman atas berbagai perilaku sang remaja. Kata kita, “Wajar lah masih remaja!”


Jika tak berkait dengan taklif agama, mungkin permakluman itu tak jadi perkara. Masalahnya, bukankah ‘aqil dan baligh menandai batas sempurna antara seorang anak yang belum ditulis ‘amal dosanya dengan orang dewasa yang punya tanggungjawab terhadap perintah dan larangan, juga wajib, mubah, dan haram? Batas itu tidak memberi waktu peralihan, apalagi berlama-lama dengan manisnya istilah remaja. Begitu penanda baligh muncul, maka dia bertanggungjawab penuh atas segala perbuatannya; ‘amal shalihnya berpahala, ‘amal salahnya berdosa.
Isma’il ‘alaihissalaam, adalah sebuah gambaran bagi kita tentang sosok generasi pelanjut yang berbakti, shalih, taat kepada Allah dan memenuhi tanggungjawab penuh sebagai seorang yang dewasa sejak balighnya. Masa remaja dalam artian terguncang, mencoba itu-ini mencari jati diri, dan masa peralihan yang perlu banyak permakluman tak pernah dialaminya. Ia teguh, kokoh, dan terbentuk karakternya sejak mula. Mengapa? Agaknya Allah telah bukakan rahasia itu dalam firmanNya:
Dan hendaklah takut orang-orang yang meninggalkan teturunan di belakang mereka dalam keadaan lemah yang senantiasa mereka khawatiri. Maka dari itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang lurus benar. (QSnAn Nisaa’ 9)
Ya. Salah satu pinta yang sering diulang Ibrahim dalam doa-doanya adalah mohon agar diberi lisan yang shidiq. Dan lisan shidiq itulah yang agaknya ia pergunakan juga untuk membesarkan putera-puteranya sehingga mereka menjadi anak-anak yang tangguh, kokoh jiwanya, mulia wataknya, dan mampu melakukan hal-hal besar bagi ummat dan agama.
Nah, mari sejenak kita renungkan tiap kata yang keluar dari lisan dan didengar oleh anak-anak kita. Sudahkah ia memenuhi syarat sebagai qaulan sadiidaa, kata-kata yang lurus benar, sebagaimana diamanatkan oleh ayat kesembilan Surat An Nisaa’? Ataukah selama ini dalam membesarkan mereka kita hanya berprinsip “asal tidak menangis”. Padahal baik agama, ilmu jiwa, juga ilmu perilaku menegaskan bahwa menangis itu penting.
Kali ini, izinkan saya secara acak memungut contoh misal pola asuh yang perlu kita tataulang redaksionalnya. Misalnya ketika anak tak mau ditinggal pergi ayah atau ibunya, padahal si orangtua harus menghadiri acara yang tidak memungkinkan untuk mengajak sang putera. Jika kitalah sang orangtua, apa yang kita lakukan untuk membuat rencana keberangkatan kita berhasil tanpa menyakiti dan mengecewakan buah hati kita?
Saya melihat, kebanyakan kita terjebak prinsip “asal tidak menangis” tadi dalam hal ini. Kita menyangka tidak menangis berarti buah hati kita “tidak apa-apa”, “tidak keberatan”, dan “nanti juga lupa.” Betulkah demikian? Agar anak tak menangis saat ditinggal pergi, biasanya anak diselimur, dilenabuaikan oleh pembantu, nenek, atau bibinya dengan diajak melihat –umpamanya- ayam, “Yuk, kita lihat ayam yuk.. Tu ayamnya lagi mau makan tu!” Ya, anak pun tertarik, ikut menonton sang ayam. Lalu diam-diam kita pergi meninggalkannya.
Si kecil memang tidak menangis. Dia diam dan seolah suka-suka saja. Tapi di dalam jiwanya, ia telah menyimpan sebuah pelajaran, “Ooh.. Aku ditipu. Dikhianati. Aku ingin ikut Ibu tapi malah disuruh lihat ayam, agar bisa ditinggal pergi diam-diam. Kalau begitu, menipu dan mengkhianati itu tidak apa-apa. Nanti kalau sudah besar aku yang akan melakukannya!”
Betapa, meskipun dia menangis, alangkah lebih baiknya kita berpamitan baik-baik padanya. Kita bisa mencium keningnya penuh kasih, mendoakan keberkahan di telinganya, dan berjanji akan segera pulang setelah urusan selesai insyaallah. Meski menangis, anak kita akan belajar bahwa kita pamit baik-baik, mendoakannya, tetap menyayanginya, dan akan segera pulang untuknya. Meski menangis, dia telah mendengar qaulan sadiida, dan kelak semoga ini menjadi pilar kekokohan akhlaqnya.
Di waktu lain, anak yang kita sayangi ini terjatuh. Apa yang kita katakan padanya saat jatuhnya? Ada beberapa alternatif. Kita bisa saja mengatakan, “Tuh kan, sudah dibilangin jangan lari-lari! Jatuh bener kan?!” Apa manfaatnya? Membuat kita sebagai orangtua merasa tercuci tangan dari salah dan alpa. Lalu sang anak akan tumbuh sebagai pribadi yang selalu menyalahkan dirinya sepanjang hidupnya.
Atau bisa saja kita katakan, “Aduh, batunya nakal yah! Iih, batunya jahat deh, bikin adek jatuh ya Sayang?” Dan bisa saja anak kita kelak tumbuh sebagai orang yang pandai menyusun alasan kegagalan dengan mempersalahkan pihak lain. Di kelas sepuluh SMA, saat kita tanya, “Mengapa nilai Matematikamu cuma 6 Mas?” Dia tangkas menjawab, “Habis gurunya killer sih Ma. Lagian, kalau ngajar nggak jelas gitu.”
Atau bisa saja kita katakan, “Sini Sayang! Nggak apa-apa! Nggak sakit kok! Duh, anak Mama nggak usah nangis! Nggak apa-apa! Tu, cuma kayak gitu, nggak sakit kan?” Sebenarnya maksudnya mungkin bagus: agar anak jadi tangguh, tidak cengeng. Tapi sadarkah bahwa bisa saja anak kita sebenarnya merasakan sakit yang luar biasa? Dan kata-kata kita, telah membuatnya mengambil pelajaran; jika melihat penderitaan, katakan saja “Ah, cuma kayak gitu! Belum seberapa! Nggak apa-apa!” Celakanya, bagaimana jika kalimat ini kelak dia arahkan pada kita, orangtunya, di saat umur kita sudah uzur dan kita sakit-sakitan? “Nggak apa-apa Bu, cuma kayak gitu. Jangan nangis ah, sudah tua, malu kan?” Akankah kita ‘kutuk’ dia sebagai anak durhaka, padahal dia hanya meneladani kita yang dulu mendurhakainya saat kecil?
Ah.. Qaulan sadiida. Ternyata tak mudah. Seperti saat kita mengatakan untuk menyemangati anak-anak kita, “Anak shalih masuk surga.. Anak nakal masuk neraka..” Betulkah? Ada dalilnya kah? Padahal semua anak jika tertakdir meninggal pasti akan menjadi penghuni surga. Juga kata-kata kita saat tak menyukai keusilan –baca; kreativitas-nya semisal bermain dengan gelas dan piring yang mudah pecah. Kita kadang mengucapkan, “Hayo.. Allah nggak suka lho Nak! Allah nggak suka!”
Sejujurnya, siapa yang tak menyukainya? Allah kah? Atau kita, karena diri ini tak ingin repot saja. Alangkah lancang kita mengatasnamakan Allah! Dan alangkah lancang kita mengenalkan pada anak kita satu sifat yang tak sepantasnya untuk Allah yakni, “Yang Maha Tidak Suka!” Karena dengan kalimat kita itu, dia merasa, Allah ini kok sedikit-sedikit tidak suka, ini nggak boleh, itu nggak benar.
Alangkah agungnya qaulan sadiida. Dengan qaulan sadiida, sedikit perbedaan bisa membuat segalanya jauh lebih cerah. Inilah kisah tentang dua anak penyuka minum susu. Anak yang satu, sering dibangunkan dari tidur malas-malasannya oleh sang ibu dengan kalimat, “Nak, cepat bangun! Nanti kalau bangun Ibu bikinkan susu deh!” Saat si anak bangun dan mengucek matanya, dia berteriak, “Mana susunya!” Dari kejauhan terdengar adukan sendok pada gelas. “Iya. Sabar sebentaar!” Dan sang ibupun tergopoh-gopoh membawakan segelas susu untuk si anak yang cemberut berat.
Sementara ibu dari anak yang satunya lagi mengambil urutan kerja berbeda. Sang ibu mengatakan begini, “Nak, bangun Nak. Di meja belajar sudah Ibu siapkan susu untukmu!” Si anakpun bangun, tersenyum, dan mengucap terimakasih pada sang ibu.
Ibu pertama dan kedua sama capeknya; sama-sama harus membuat susu, sama-sama harus berjuang membangunkan sang putera. Tapi anak yang awal tumbuh sebagai si suka pamrih yang digerakkan dengan janji, dan takkan tergerak oleh hal yang jika dihitung-hitung tak bermanfaat nyata baginya. Anak kedua tumbuh menjadi sosok ikhlas penuh etos. Dia belajar pada ibunya yang tulus; tak suka berjanji, tapi selalu sudah menyediakan segelas susu ketika membangunkannya.
Ya Allah, kami tahu, rumahtangga Islami adalah langkah kedua dan pilar utama dari da’wah yang kami citakan untuk mengubah wajah bumi. Ya Allah maka jangan Kau biarkan kami tertipu oleh kekerdilan jiwa kami, hingga menganggap kecil urusan ini. Ya Allah maka bukakanlah kemudahan bagi kami untuk menata da’wah ini dari pribadi kami, keluarga kami, masyarakat kami, negeri kami, hingga kami menjadi guru semesta sejati.
Ya Allah, karuniakan pada kami lisan yang shidiq, seperti lisan Ibrahim. Karuniakan pada kami anak-anak shalih yang kokoh imannya dan mulia akhlaqnya, seperti Isma’il. Meski kami jauh dari mereka, tapi izinkan kami belajar untuk mengucapkan qaulan sadiida, huruf demi huruf, kata demi kata..

Aamiin..

sepenuh cinta,
Salim A. Fillah

Jurus Jitu Mendidik Anak





بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَتُهُ
Ada tulisan menarik mengenai kiat dan cara mendidik anak yang ditulis oleh Ustadz Abdullah Zaen Lc. M.A. dan disebarluaskan dalam bentuk ebook oleh yufid.com mesin pencari ilmu Islam. Mungkin ini adalah artikel terpanjang dan menyalahi kebiasaan tulisan di blog ini yang ringkas, namun melihat pembahasannya yang sangat penting dan menarik maka saya postingkan di blog ini. Semoga memberi manfaat bagi para pembaca yang sudah memiliki anak atau pun yang baru mau memiliki anak.*


PROLOG

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Di bulan Ramadhan tahun ini (1432 H, ed.), kami mendapat amanah untuk mengimami shalat Tarawih dan Subuh di Masjid Agung Darussalam Purbalingga selama lima hari. Masih dalam rangkaiannya, kami ditugaskan untuk memberikan kuliah Tarawih dan kuliah Subuh. Kebetulan materi pengajian Tarawih seputar pilar-pilar penting dalam mendidik anak. Karena banyaknya permintaan dari jama’ah, bahan materi tersebut kami kumpulkan dalam bentuk makalah yang kami beri judul “Jurus Jitu Mendidik Anak”. Tentu masih terlalu jauh dari format sempurna, namun semoga yang sederhana ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak -yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu- yang turut andil dalam amal salih ini. Tegur sapa para pembaca kami nantikan. Selamat menelaah!

JURUS PERTAMA: MENDIDIK ANAK PERLU ILMU

Ilmu merupakan kebutuhan primer setiap insan dalam setiap lini kehidupannya, termasuk dalam mendidik anak. Bahkan kebutuhan dia terhadap ilmu dalam mendidik anak, melebihi kebutuhannya terhadap ilmu dalam menjalankan pekerjaannya. Namun, realita berkata lain. Rupanya tidak sedikit di antara kita mempersiapkan ilmu untuk kerja lebih banyak daripada ilmu untuk menjadi orangtua. Padahal tugas kita menjadi orangtua dua puluh empat jam sehari semalam, termasuk saat tidur, terjaga serta antara sadar dan tidak. Sementara tugas kita dalam pekerjaan, hanya sebatas jam kerja.
Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak hanya karena istrinya melahirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut ibu semata-mata karena dialah yang melahirkan. Bukan karena mereka menyiapkan diri menjadi orangtua. Bukan pula karena mereka memiliki kepatutan sebagai orangtua. Padahal, menjadi orangtua harus berbekal ilmu yang memadai.
Sekadar memberi mereka uang dan memasukkan di sekolah unggulan, tak cukup untuk membuat anak kita menjadi manusia unggul. Sebab, sangat banyak hal yang tidak bisa dibeli dengan uang. Uang memang bisa membeli tempat tidur yang mewah, tetapi bukan tidur yang lelap. Uang bisa membeli rumah yang lapang, tetapi bukan kelapangan hati untuk tinggal di dalamnya. Uang juga bisa membeli pesawat televisi yang sangat besar untuk menghibur anak, tetapi bukan kebesaran jiwa untuk memberi dukungan saat mereka terempas. Betapa banyak anak-anak yang rapuh jiwanya, padahal mereka tinggal di rumah-rumah yang kokoh bangunannya. Mereka mendapatkan apa saja dari orangtuanya, kecuali perhatian, ketulusan dan kasih sayang!

Ilmu Apa Saja yang Dibutuhkan?

Banyak jenis ilmu yang dibutuhkan orangtua dalam mendidik anaknya. Mulai dari ilmu agama dengan berbagai variannya, hingga ilmu cara berkomunikasi dengan anak.
Jenis ilmu agama pertama dan utama yang harus dipelajari orangtua adalah akidah. Sehingga ia bisa menanamkan akidah yang lurus dan keimanan yang kuat dalam jiwa anaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan bagaimana membangun pondasi tersebut dalam jiwa anak, dalam salah satu sabdanya untuk Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَ إِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِالله

“Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Dan jika engkau meminta pertolongan, mintalah kepada Allah.” (H.R. Tirmidzi dan beliau berkomentar, “Hasan sahih”).
Selanjutnya ilmu tentang cara ibadah, terutama shalat dan cara bersuci. Demi merealisasikan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk para orangtua,

مُرُوا أَوِلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْر

“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk shalat saat berumur tujuh tahun, dan pukullah jika enggan saat mereka berumur sepuluh tahun.” (H.R. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Syaikh al-Albani).
Bagaimana mungkin orangtua akan memerintahkan shalat pada anaknya, jikalau ia tidak mengerti tatacara shalat yang benar. Mampukah orang yang tidak mempunyai sesuatu, untuk memberikan sesuatu kepada orang lain?
Berikutnya ilmu tentang akhlak, mulai adab terhadap orangtua, tetangga, teman, tidak lupa adab keseharian si anak. Bagaimana cara makan, minum, tidur, masuk rumah, kamar mandi, bertamu dan lain-lain. Dalam hal ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mempraktikkannya sendiri, antara lain ketika beliau bersabda menasihati seorang anak kecil,
يَاغُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ
“Nak, ucapkanlah bismillah (sebelum engkau makan) dan gunakanlah tangan kananmu.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Umar bin Abi Salamah)
Yang tidak kalah pentingnya adalah: ilmu seni berinteraksi dan berkomunikasi dengan anak. Bagaimana kita menghadapi anak yang hiperaktif atau sebaliknya pendiam. Bagaimana membangun rasa percaya diri dalam diri anak. Bagaimana memotivasi mereka untuk gemar belajar. Bagaimana menumbuhkan bakat yang ada dalam diri anak kita. Dan berbagai konsep-konsep dasar pendidikan
anak lainnya.

Ayo Belajar!

Semoga pemaparan singkat di atas bisa menggambarkan pada kita urgensi ilmu dalam mendidik anak. Sehingga diharapkan bisa mendorong kita untuk terus mengembangkan diri, meningkatkan pengetahuan kita, menghadiri majlis taklim, membaca buku-buku panduan pendidikan. Agar kita betul-betul menjadi orangtua yang sebenarnya, bukan sekedar orang yang lebih tua dari anaknya!

JURUS KEDUA: MENDIDIK ANAK PERLU KESALIHAN ORANG TUA

Tentu Anda masih ingat kisah ‘petualangan’ Nabi Khidir dengan Nabi Musa ‘alaihimas salam. Ya, di antara penggalan kisahnya adalah apa yang Allah sebutkan dalam surat al-Kahfi. Manakala mereka berdua memasuki suatu kampung dan penduduknya enggan untuk sekadar menjamu mereka berdua. Sebelum meninggalkan kampung tersebut, mereka menemukan rumah yang hampir ambruk. Dengan ringan tangan Nabi Khidir memperbaiki tembok rumah tersebut, tanpa meminta upah dari penduduk kampung. Nabi Musa terheran-heran melihat tindakannya. Nabi Khidir pun beralasan, bahwa rumah tersebut milik dua anak yatim dan di bawahnya terpendam harta peninggalan orang tua mereka yang salih. Allah berkehendak menjaga harta tersebut hingga kedua anak tersebut dewasa dan
mengambil manfaat dari harta itu.
Para ahli tafsir menyebutkan, bahwa di antara pelajaran yang bisa dipetik dari kisah di atas adalah: Allah akan menjaga keturunan seseorang manakala ia salih, walaupun ia telah meninggal dunia sekalipun.[1]
Subhânallâh, begitulah dampak positif kesalihan orang tua! Sekalipun telah meninggal dunia masih tetap dirasakan oleh keturunannya. Bagaimana halnya ketika ia masih hidup?? Tentu lebih besar dan lebih besar lagi dampak positifnya.

Urgensi Kesalihan Orang Tua dalam Mendidik Anak

Kita semua mempunyai keinginan dan cita-cita yang sama. Ingin agar keturunan kita menjadi anak yang salih dan salihah. Namun, terkadang kita lupa bahwa modal utama untuk mencapai cita-cita mulia tersebut ternyata adalah: kesalihan dan ketakwaan kita selaku orang tua. Alangkah lucunya, manakala kita berharap anak menjadi salih dan bertakwa, sedangkan kita sendiri berkubang dalam maksiat dan dosa!
Kesalihan jiwa dan perilaku orangtua mempunyai andil yang sangat besar dalam membentuk kesalihan anak. Sebab ketika si anak membuka matanya di muka bumi ini, yang pertama kali ia lihat adalah ayah dan bundanya. Manakala ia melihat orangtuanya berhias akhlak mulia serta tekun beribadah, niscaya itulah yang akan terekam dengan kuat di benaknya. Dan insya Allah itupun juga yang akan ia praktekkan dalam kesehariannya. Pepatah mengatakan, “buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Betapa banyak ketakwaan pada diri anak disebabkan ia mengikuti ketakwaan kedua orangtuanya atau salah seorang dari mereka. Ingat karakter dasar manusia, terutama anak kecil, yang suka meniru!

Beberapa Contoh Aplikasi Nyatanya

Manakala kita menginginkan anak kita rajin untuk mendirikan shalat lima waktu, gamitlah tangannya dan berangkatlah ke masjid bersama. Bukan hanya dengan berteriak memerintahkan anak pergi ke masjid, sedangkan Anda asyik menonton televisi.
Jika Anda berharap anak rajin membaca al-Quran, ramaikanlah rumah dengan lantunan ayat-ayat suci al-Quran yang keluar dari lisan ayah, ibu ataupun kaset dan radio. Jangan malah Anda menghabiskan hari-hari dengan membaca koran, diiringi lantunan langgam gendingan atau suara biduanita yang mendayu-dayu!
Kalau Anda menginginkan anak jujur dalam bertutur kata, hindarilah berbohong sekecil apapun. Tanpa disadari, ternyata sebagai orang tua kita sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya. Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak jalan-jalan mengelilingi perumahan. Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya dengan kalimat yang jujur? Atau kita lebih memilih berbohong dengan mengatakan, “Bapak hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya. Sebentaaar saja ya sayang…” Tapi ternyata, kita malah pulang malam!
Dalam contoh di atas, sejatinya kita telah berbohong kepada anak, dan itu akan ditiru olehnya. Terus apa yang sebaiknya kita lakukan? Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan dengan lembut dan penuh kasih serta pengertian, “Sayang, bapak mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo bapak ke kebun binatang, insya Allah kamu bisa ikut.”
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini. Pastinya akan membutuhkan waktu lebih untuk memberi pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis. Anak menangis karena ia belum memahami keadaan mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari. Kita perlu bersabar dan melakukan pengertian kepada mereka secara terus menerus. Perlahan anak akan memahami mengapa orang tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.
Anda ingin anak jujur? Mulailah dari diri Anda sendiri!

Sebuah Renungan Penutup

Tidak ada salahnya kita putar ingatan kepada beberapa puluh tahun ke belakang, saat sarana informasi dan telekomunikasi masih amat terbatas, lalu kita bandingkan dengan zaman ini dan dampaknya yang luar biasa untuk para orang tua dan anak.
Dulu, masih banyak ibu-ibu yang rajin mengajari anaknya mengaji, namun sekarang mereka telah sibuk dengan acara televisi. Dahulu ibu-ibu dengan sabar bercerita tentang kisah para nabi, para sahabat hingga teladan dari para ulama, sekarang mereka lebih nyaman untuk menghabiskan waktu ber-facebook-an dan akrab dengan artis di televisi. Dulu bapak-bapak mengajari anaknya sejak dini tatacara wudhu, shalat dan ibadah primer lainnya, sekarang mereka sibuk mengikuti berita transfer pemain bola!
Bagaimana kondisi anak-anak saat ini, dan apa yang akan terjadi di negeri kita lima puluh tahun ke depan, jika kondisi kita terus seperti ini?? Jika kita tidak ingin menjumpai mimpi buruk kehancuran negeri ini, persiapkan generasi muda sejak sekarang. Dan untuk merealisasikan itu, mulailah dengan memperbaiki diri kita sendiri selaku orangtua! Sebab mendidik anak memerlukan kesalihan orangtua.
Semoga Allah senantiasa meridhai setiap langkah baik kita, amien…

JURUS KETIGA: MENDIDIK ANAK PERLU KEIKHLASAN

Ikhlas merupakan ruh bagi setiap amalan. Amalan tanpa disuntik keikhlasan bagaikan jasad yang tak bernyawa. Termasuk jenis amalan yang harus dilandasi keikhlasan adalah mendidik anak. Apa maksudnya?
Maksudnya adalah: Rawat dan didik anak dengan penuh ketulusan dan niat ikhlas semata-mata mengharapkan keridhaan Allah ta’ala.
Canangkan niat semata-mata untuk Allah dalam seluruh aktivitas edukatif, baik berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan maupun hukuman. Iringilah setiap kata yang kita ucapkan dengan keikhlasan..
Bahkan dalam setiap perbuatan yang kita lakukan untuk merawat anak, entah itu bekerja membanting tulang guna mencari nafkah untuknya, menyuapinya, memandikannya hingga mengganti popoknya, niatkanlah semata karena mengharap ridha Allah.

Apa Sih Kekuatan Keikhlasan?

Ikhlas memiliki dampak kekuatan yang begitu dahsyat. Di antaranya:
1. Dengan ketulusan, suatu aktivitas akan terasa ringan
Proses membuat dan mendidik anak, mulai dari mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, membimbing hingga mendidik, jelas membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Puluhan tahun! Tentu di rentang waktu yang cukup panjang tersebut, terkadang muncul dalam hati rasa jenuh dan kesal karena ulah anak yang kerap menjengkelkan. Seringkali tubuh terasa super capek karena banyaknya pekerjaan; cucian yang menumpuk, berbagai sudut rumah yang sebentar-sebentar perlu dipel karena anak ngompol di sana sini dan tidak ketinggalan mainan yang selalu berserakan dan berantakan di mana-mana. Anda ingin seabreg pekerjaan itu terasa ringan? Jalanilah dengan penuh ketulusan dan keikhlasan! Sebab seberat apapun pekerjaan, jika dilakukan dengan ikhlas insya Allah akan terasa ringan, bahkan menyenangkan. Sebaliknya, seringan apapun pekerjaan, kalau dilakukan dengan keluh kesah pasti akan terasa seberat gunung dan menyebalkan.
2. Dengan keikhlasan, ucapan kita akan berbobot
Sering kita mencermati dan merasakan bahwa di antara kata-kata kita, ada yang sangat membekas di dada anak-anak yang masih belia hingga mereka dewasa kelak. Sebaliknya, tak sedikit ucapan yang bahkan kita teriakkan keras-keras di telinganya, ternyata berlalu begitu saja bagai angin malam yang segera hilang kesejukannya begitu mentari pagi bersinar. Apa yang membedakan? Salah satunya adalah kekuatan yang menggerakkan kata-kata kita. Jika Engkau ucapkan kata-kata itu untuk sekadar meluapkan amarah, maka anak-anak itu akan mendengarnya sesaat dan sesudah itu hilang tanpa bekas. Namun jika Engkau ucapkan dengan sepenuh hati sambil mengharapkan turunnya hidayah untuk anak-anak yang Engkau lahirkan dengan susah payah itu, insya Allah akan menjadi perkataan yang berbobot. Sebab bobot kata-kata kita kerap bersumber bukan dari manisnya tutur kata, melainkan karena kuatnya penggerak dari dalam dada; iman kita dan keikhlasan kita…
3. Dengan keikhlasan anak kita akan mudah diatur
Jangan pernah meremehkan perhatian dan pengamatan anak kita. Anak yang masih putih dan bersih dari noda dosa akan begitu mudah merasakan suasana hati kita. Dia bisa membedakan antara tatapan kasih sayang dengan tatapan kemarahan, antara dekapan
ketulusan dengan pelukan kejengkelan, antara belaian cinta dengan cubitan kesal. Bahkan ia pun bisa menangkap suasana hati orang tuanya, sedang tenang dan damaikah, atau sedang gundah gulana?
Manakala si anak merasakan ketulusan hati orangtuanya dalam setiap yang dikerjakan, ia akan menerima arahan dan nasihat yang disampaikan ayah dan bundanya, karena ia menangkap bahwa segala yang disampaikan padanya adalah semata demi kebaikan dirinya.
4. Dengan keikhlasan kita akan memetik buah manis pahala
Keikhlasan bukan hanya memberikan dampak positif di dunia, namun juga akan membuahkan pahala yang amat manis di alam sana. Yang itu berujung kepada berkumpulnya orangtua dengan anak-anaknya di negeri keabadian; surga Allah yang penuh dengan keindahan dan kenikmatan.

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ

Artinya: “Orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami akan pertemukan mereka dengan anak cucu mereka.” (Q.S. Ath-Thur: 21)
Dipertemukan di mana?
Di surga Allah Jalla wa ’Ala![2]

Mulailah dari Sekarang!

Latih dan biasakan diri untuk ikhlas dari sekarang, sekecil apapun perbuatan yang kita lakukan.
Kalau Engkau bangun di tengah malam untuk membuatkan susu buat anakmu, aduklah ia dengan penuh keikhlasan sambil mengharap agar setiap tetes yang masuk kerongkongannya akan menyuburkan setiap benih kebaikan dan menyingkirkan setiap bisikan yang buruk.
Kalau Engkau menyuapkan makanan untuknya, suapkanlah dengan penuh keikhlasan sembari memohon kepada Allah agar setiap makanan yang mengalirkan darah di tubuh mereka akan mengokohkan tulang-tulang mereka, membentuk daging mereka dan membangkitkan jiwa mereka sebagai penolong-penolong agama Allah. Sehingga dengan itu, semoga setiap suapan yang masuk ke mulut mereka akan membangkitkan semangat dan meninggikan martabat. Mereka akan bersemangat untuk senantiasa menuntut ilmu,
beribadah dengan tekun kepada Allah dan meninggikan agama-Nya. Amîn yâ mujîbas sâ’ilîn…

JURUS KEEMPAT: MENDIDIK ANAK PERLU KESABARAN

Sabar merupakan salah satu syarat mutlak bagi mereka yang ingin berhasil mengarungi kehidupan di dunia. Kehidupan yang tidak lepas dari susah dan senang, sedih dan bahagia, musibah dan nikmat, menangis dan tertawa, sakit dan sehat, lapar dan kenyang, rugi dan untung, miskin dan kaya, serta mati dan hidup.
Di antara episode perjalanan hidup yang membutuhkan kesabaran ekstra adalah masa-masa mendidik anak. Sebab rentang waktunya tidak sebentar dan seringkali anak berperilaku yang tidak sesuai dengan harapan kita.

Contoh Aplikasi Kesabaran

1. Sabar dalam membiasakan perilaku baik terhadap anak
Anak bagaikan kertas yang masih putih, tergantung siapa yang menggoreskan lukisan di atasnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan hal itu dalam sabdanya,
مَا مِنْ مَوْلُودٍ إِلَّا يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوِ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمجِّسَانِهِ

“Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah. Orang tuanya lah yang akan menjadikan ia Yahudi, Nasrani atau Majusi.” (H.R. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Andaikan sejak kecil anak dibiasakan berperilaku baik, mulai dari taat beribadah hingga adab mulia dalam keseharian, insya Allah hal itu akan sangat membekas dalam dirinya. Sebab mendidik di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu. Mengukir di atas batu membutuhkan kesabaran dan keuletan, namun jika ukiran tersebut telah jadi niscaya ia akan awet dan tahan lama.
2. Sabar dalam menghadapi pertanyaan anak
Menghadapi pertanyaan anak, apalagi yang baru saja mulai tumbuh dan menginginkan untuk mengetahui segala sesuatu yang ia lihat, memerlukan kesabaran yang tidak sedikit. Terkadang timbul rasa jengkel dengan pertanyaan anak yang tidak ada habis-habisnya, hingga kerap kita kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaannya.
Sesungguhnya kesediaan anak untuk bertanya kepada kita, ‘seburuk’ apa pun pertanyaan yang ia lontarkan, merupakan pertanda bahwa mereka memberikan kepercayaannya kepada kita untuk menjawab. Maka jalan terbaik adalah menghargai kepercayaannya dengan tidak mematikan kesediaannya untuk bertanya, serta memberikan jawaban yang mengena dan menghidupkan jiwa. Jika kita ogah-ogahan untuk menjawab pertanyaan anak atau menjawab sekenanya atau bahkan justru menghardiknya, hal itu bisa berakibat fatal. Anak tidak lagi percaya dengan kita, sehingga ia akan mencari orang di luar rumah yang dianggapnya bisa memuaskan pertanyaan-pertanyaan dia. Dan tidak ada yang bisa menjamin bahwa orang yang ditemuinya di luar adalah orang baik-baik!
Ingat betapa rusaknya pergaulan di luar saat ini!
3. Sabar menjadi pendengar yang baik
Banyak orang tua adalah pendengar yang buruk bagi anak-anaknya. Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak, orangtua lebih suka menyela, langsung menasihati tanpa mau bertanya permasalahannya serta asal-usul kejadiannya.
Salah satu contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya siang ternyata baru pulang sore hari. Kita tidak mendapat pemberitahuan apa pun darinya atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita merasa kesal menunggu, sekaligus juga khawatir. Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah, kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan. Bahkan setiap kali anak hendak berbicara, kita selalu memotongnya, dengan ungkapan, “Sudah-sudah tidak perlu banyak alasan”, atau “Ah, papa/ mama tahu kamu pasti main ke tempat itu lagi kan?!” Akibatnya, ia malah tidak mau bicara dan marah pada kita.
Pada saat seperti itu, yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak adalah ingin didengarkan terlebih dahulu dan ingin diperhatikan. Mungkin keterlambatannya ternyata disebabkan adanya tugas mendadak dari sekolah. Ketika anak tidak diberi kesempatan untuk berbicara, ia merasa tidak dihargai dan akhirnya dia juga berbalik untuk tidak mau mendengarkan kata-kata kita.
Yang sebaiknya dilakukan adalah, kita memulai untuk menjadi pendengar yang baik. Berikan kepada anak waktu yang seluas-luasnya untuk mengungkapkan segalanya. Bersabarlah untuk tidak berkomentar sampai saatnya tiba. Ketika anak sudah selesai menjelaskan duduk permasalahan, barulah Anda berbicara dan menyampaikan apa yang ingin Anda sampaikan.
4. Sabar manakala emosi memuncak
Hendaknya kita tidak memberikan sanksi atau hukuman pada anak ketika emosi kita sedang memuncak. Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang keluar dari mulut kita, cenderung untuk menyakiti dan menghakimi, tidak untuk menjadikan anak lebih baik.
Yang seyogyanya dilakukan adalah: bila kita dalam keadaan sangat marah, segeralah menjauh dari anak. Pilihlah cara yang tepat untuk menurunkan amarah kita dengan segera. Bisa dengan mengamalkan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; yakni berwudhu.
Jika kita bertekad untuk tetap memberikan sanksi, tundalah sampai emosi kita mereda. Setelah itu pilih dan susunlah bentuk hukuman yang mendidik dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuatnya. Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan untuk menyakiti.

Berakit-rakit ke Hulu

Pepatah Arab mengatakan, “Sabar bagaikan buah brotowali, pahit rasanya, namun kesudahannya lebih manis daripada madu”.
Sabar dalam mendidik anak memang terasa berat, namun tunggulah buah manisnya kelak di dunia maupun akhirat. Di dunia mereka akan menjadi anak-anak yang menurut kepada orangtuanya insya Allah. Dan manakala kita telah masuk di alam akhirat mereka akan terus mendoakan kita, sehingga curahan pahala terus mengalir deras. Semoga…

JURUS KELIMA: MENDIDIK ANAK PERLU IRINGAN DOA

Beberapa saat lalu saya mampir shalat Jumat di masjid salah satu perumahan di bilangan Sokaraja Banyumas. Di sela-sela khutbahnya, khatib bercerita tentang kejadian yang menimpa sepasang suami istri. Keduanya terkena stroke, namun sudah sekian bulan tidak ada satupun di antara anaknya yang datang menjenguk. Manakala dibesuk oleh si khatib, sang bapak bercerita sambil menangis terisak,
“Mungkin Allah telah mengabulkan doa saya. Sekarang inilah saya merasakan akibat dari doa saya! Dahulu saya selalu berdoa agar anak-anak saya jadi ‘orang’. Berhasil, kaya, sukses, dan seterusnya. Benar, ternyata Allah mengabulkan seluruh permintaan saya. Semua anak saya sekarang menjadi orang kaya dan berhasil. Mereka tinggal di berbagai pulau di tanah air, jauh dari saya. Memang
mereka semua mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit dan semua menelpon saya untuk segera berobat. Namun, bukan itu yang saya butuhkan saat ini. Saya ingin belaian kasih sayang tangan mereka. Saya ingin dirawat dan ditunggu mereka, sebagaimana dulu saya merawat mereka.”
Ya, berhati-hatilah Anda dalam memilih redaksi doa, apalagi jika itu ditujukan untuk anak Anda. Tidak ada redaksi yang lebih baik dibandingkan redaksi doa yang diajarkan dalam al-Quran dan Hadits “Rabbanâ hablanâ min azwâjinâ wa dzurriyyâtinâ qurrata a’yun, waj’alnâ lil muttaqîna imâmâ” (Wahai Rabb kami, karuniakanlah pada kami pasangan dan keturunan yang menyejukkan
pandangan mata. Serta jadikanlah kami imam bagi kaum muttaqin). (Q.S. Al-Furqan: 74)

Seberapa Besar Sih Kekuatan Doa?

Sebesar apapun usaha orangtua dalam merawat, mendidik, menyekolahkan dan mengarahkan anaknya, andaikan Allah ta’ala tidak berkenan untuk menjadikannya anak salih, niscaya ia tidak akan pernah menjadi anak salih. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah dan betapa kecilnya kekuatan kita. Ini jelas memotivasi kita untuk lebih membangun ketergantungan dan rasa tawakkal kita kepada Allah Jalla wa ‘Ala. Dengan cara, antara lain, memperbanyak menghiba, merintih, memohon bantuan dan pertolongan dari Allah dalam segala sesuatu, terutama dalam hal mendidik anak.
Secara khusus, doa orangtua untuk anaknya begitu spesial. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hal itu dalam sabdanya,
ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ لَا شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْوَالِدِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْمَظْلُومِ
“Tiga doa yang akan dikabulkan tanpa ada keraguan sedikitpun. Doa orangtua, doa musafir dan doa orang yang dizalimi.” (H.R. Abu Dawud dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dan dinyatakan hasan oleh Syaikh al-Albani)

Sejak Kapan Kita Mendoakan Anak Kita?

Sejak Anda melakukan proses hubungan suami istri telah disyariatkan untuk berdoa demi kesalihan anak Anda. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ وَقَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَارَزَقْتَنَا” فَرُزِقَا وَلَدًا لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ
“Jika salah seorang dari kalian sebelum bersetubuh dengan istrinya ia membaca “Bismillah, allôhumma jannibnasy syaithôn wa jannibisy syaithôna mâ rozaqtanâ” (Dengan nama Allah. Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan pada kami), lalu mereka berdua dikaruniai anak, niscaya setan tidak akan bisa mencelakakannya.” Hadits riwayat Bukhari (hal. 668 no. 3271) dan Muslim (X/246 no. 3519) dari Ibnu Abbas.
Ketika anak telah berada di kandungan pun jangan pernah lekang untuk menengadahkan tangan dan menghadapkan diri kepada Allah, memohon agar kelak keturunan yang lahir ini menjadi generasi yang baik. Nabi Ibrahim ‘alaihis salam mencontohkan,
زَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Wahai Rabbi, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk orang-orang salih.” (Q.S. ash-Shâffât: 100).
Nabi Zakariya ‘alaihis salam juga demikian,
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Rabbi, berilah aku dari sisiMu keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa.” (Q.S. Ali Imran: 38).
Setelah lahir hingga anak dewasa sekalipun, kawal dan iringilah terus dengan doa. Pilihlah waktu-waktu yang mustajab. Antara azan dengan iqamah, dalam sujud dan di sepertiga malam terakhir misalnya. Bahkan tidak ada salahnya ketika berdoa, Anda perdengarkan doa tersebut di hadapan anak Anda. Selain untuk mengajarkan doa-doa nabawi tersebut, juga agar dia melihat dan memahami betapa besar harapan Anda agar dia menjadi anak salih.

Awas, Hati-hati!

Doa orang tua itu mustajab, baik doa tersebut bermuatan baik maupun buruk. Maka berhati-hatilah wahai para orangtua. Terkadang ketika Anda marah, tanpa terasa terlepas kata-kata yang kurang baik terhadap anak Anda, lalu Allah mengabulkan ucapan tersebut, akibatnya Anda menyesal seumur hidup.
Dikisahkan ada seorang yang mengadu kepada Imam Ibn al-Mubarak mengeluhkan tentang anaknya yang durhaka. Beliau bertanya, “Apakah engkau pernah mendoakan tidak baik untuknya?”
“Ya” sahutnya.
“Engkau sendiri yang merusak anakmu,” pungkas sang Imam.
***
Pesantren Tunas Ilmu, Kedungwuluh Purbalingga, 9 Ramadhan 1432 / 9 Agustus 2011
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A.
[1] Lihat: Tafsîr ath-Thabary (XV/366), Tafsîr al-Baghawy (V/196), Tafsîr al-Qurthuby (XIII/356), Tafsîr Ibn Katsîr
(V/186-187), Tafsîr al-Jalâlain (hal. 302-303) dan Tafsîr as-Sa’dy (hal. 435)
[2] Sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma yang diriwayatkan Imam al-Baihaqy dalam Kitab al-
I’tiqâd (hal. 183)

di salin dari :http://alhilyahblog.wordpress.com/2011/12/04/jurus-jitu-mendidik-anak/#more-561

Belajar dan Menghafal Qur'an dengan Hati


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ


اَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَتُهُ
Kisah Sekolah Penghafal Qur’an Balita Di Iran









Kisah Seorang Ibu Yang Menyekolahkan Anaknya di Iran
Saya tinggal di Iran dan punya usia anak empat tahun. Sejak tiga bulan lalu, saya masukkan dia ke sekolah hafiz Quran untuk anak2. Setelah masuk, wah ternyata unik banget metodenya. (Siapa tau bisa dijadikan masukan buat sobat yang berkecimpung di bidang ini.) Anak-anak balita yang masuk ke sekolah ini (namanya Jamiatul Quran), tidak disuruh langsung ngapalin juz’ amma, melainkan setiap kali datang, diperlihatkan gambar misalnya, gambar anak lagi cium tangan ibunya, (di rumah, anak disuruh mewarnai gambar itu), lalu guru cerita tentangg gambar itu (jadi anak harus baik.dll).


Kemudian, si guru ngajarin ayat “wabil waalidaini ihsaana/Al Isra:23″ dengan menggunakan isyarat (kayak isyarat tuna rungu), misalnya, “walidaini”, isyaratnya bikin kumis dan bikin kerudung di wajah (menggambarkan ibu dan ayah). Jadi, anak2 mengucapkan ayat itu sambil memperagakan makna ayat tersebut. Begitu seterusnya (satu pertemuan hanya satu atau dua ayat yg diajarkan). Hal ini dilakukan selama 4 sampai 5 bulan. Setelah itu, mereka belajar membaca, dan baru kemudian mulai menghapal juz ‘amma.
Suasana kelas juga semarak banget. Sejak anak masuk ke ruang kelas, sampai pulang, para guru mengobral pujian-pujian (sayang, cantik, manis, pintar.dll) dan pelukan atau ciuman. Tiap hari (sekolah ini hanya 3 kali seminggu) selalu ada saja hadiah yang dibagikan untuk anak-anak, mulai dari gambar tempel, pensil warna, mobil2an, dll.
Habis baca doa, anak-anak diajak senam, baru mulai menghapal ayat. Itupun, sebelumnya guru mengajak ngobrol dan anak2 saling berebut memberikan pendapatnya. (Sayang anak saya karena masalah bahasa, cenderung diam, tapi dia menikmati kelasnya).
Setelah berhasil menghapal satu ayat, anak-anak diajak melakukan berbagai permainan. Oya, para ibu juga duduk di kelas, bareng2 anak2nya. Kelas itu durasinya 90 menit .
Hasilnya? Wah, bagus banget! Ketika melihat saya membuka keran air akan terlalu besar, anak saya akan nyeletuk, “Mama, itu israf (mubazir)!” (Soalnya, gurunya menerangkan makna surat Al A’raf :31 “kuluu washrabuu walaatushrifuu/ makanlah dan minumlah, dan jangan israf/ berlebih2an) .
Waktu dia lihat TV ada polisi ngejar2 penjahat, dia nyeletuk “Innal hasanaat tushrifna sayyiaat/ Sesungguhnya kebaikan akan mengalahkan kejahatan” (Hud:114). Teman saya mengeluh (dengan nada bangga) bahwa tiap kali dia ngobrol dengan temannya tentang orang lain, anaknya akan nyeletuk “Mama, ghibah ya?” (soalnya, dia sudah belajar ayat “laa yaghtab ba’dhukum ba’dhaa”/Mujadalah:12) .
Anak saya (dan anak2 lain, sesuai penuturan ibu2 mereka), ketika sendirian, suka sekali mengulang2 ayat2 itu tanpa perlu disuruh. Ayat2 itu seolah-olah menjadi bagian dari diri mereka. Mereka sama sekali tidak disuruh pakai kerudung. Tapi, setelah diajarkan ayat tentang jilbab (An-Nur:31)!, mereka langsung minta sama ibunya untuk dipakaikan jilbab.
Anak saya, ketika ingkar janji (misalnya, janji nggak main lama2, terus ternyata mainnya lama), saya ingatkan ayat “limaa taquuluu maa laa taf’alun” (As-Shaf:2). dia langsung bilang “Nanti nggak gitu lagi Ma.!” Akibatnya, jika saya mengatakan sesuatu dan tidak saya tepati, ayat itu pula yang keluar dari mulutnya!



Setelah tanya2 ke pihak sekolah, baru saya tahu bahwa metode seperti ini, tujuannya adalah untuk menimbulkan kecintaan anak2 kepada Al Quran. Anak2 balita itu di masa depan akan mmpunyai kenangan indah tentang Al Quran. Saya pikir2 benar juga. Saya ingat, dulu waktu kecil pergi ke TPA (Taman Pendidkan Al Quran) di Indonesia, rasanya maless..banget (Kalo nggak dipaksa ortu, nggak jalan deh). Bagi saya, TPA identik dengan beban berat, PR yang banyak, hapalan bejibun, guru galak, dsb. Pernah saya dengar, di sekolah Kristen anak2 diberi hadiah dan dikatakan kepada mereka bahwa itu dari Yesus. Nah, kenapa kita kaum muslim yang meyakini bahwa agama kitalah yang paling benar, tidak meniru cara ini agar anak2 merasa cinta kepada Allah dan Quran? Bagaimanapun, dunia anak2 adalah dunia materi. Mereka baru bisa mencerap hal2 yang nyata, seperti hadiah (dan belum paham, pahala itu apa).
Para orangtua teman sekelas anak saya juga pada cerita bahwa anak2nya malah nangis kalau nggak diajak ke sekolah. Malah, buat anak saya, ancaman tidak diantar ke sekolah adalah ancaman paling ampuh, kalau dia nakal (dia akan langsung nangis, hehehe… mamanya nakal ya?).
Metode pengajaran ayat Quran dengan menggunakan isyarat ini diciptakan oleh seorang ulama bernama Sayyid Thabathabai. Anak beliau yang pertama pada usia 5 tahun di bawah bimbingan beliau sendiri, sudah hapal seluruh juz Al Quran, berikut maknanya, hapal topik2nya (misalnya, ditanyakan, coba sebutkan ayat2 mana saja yang berbicara tentang akhlak kepada orangtua, dia akan menyebut, ayat ini..ini..ini. .), dan mampu bercakap-cakap dengan bahasa Al Quran (misalnya ditanya; makanan favoritmu apa, dia akan menjawab “Kuluu mimma fil ardhi halaalan thayyibaa” (Al Baqarah:168). Anak kedua juga memiliki kemampuan sama, tapi sedikit lebih lambat, mungkin usia 6 atau 7 tahun.
Keberhasilan anak2 Sayyid Thabathabi itu benar-benar fenomenal ( bahkan anak pertamanya diberi gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ulumul Quran oleh sebuah universitas di Inggris ), sehingga sejak itu, gerakan menghapal Quran untuk anak-anak kecil benar2 digalakkan di Iran. Setiap anak penghapal Quran dihadiahi pergi haji bersama orang-tuanya oleh negara dan setiap tahunnya ratusan anak kecil di bawah usia 10 tahun berhasil menghapal Al Quran ( jumlah ini lebih banyak kalau dihitung juga dengan anak lulusan dari sekolah2 lain ).
Salah satu tujuan Iran dalam hal ini ( kata salah seorang guru ) adalah untuk menepis isu-isu dari musuh-musuh Islam yang ingin memecah-belah umat muslim, yang menyatakan bahwa Quran-nya orang Iran itu beda/ lain daripada yg lain.
Saya pernah diskusi dengan teman saya dosen ITB, dia mengatakan bahwa metode seperti itu merangsang kecerdasan anak karena secara bersamaan anak akan melihat gambar, mendengar suara, melakukan gerakan-gerakan yang selaras dengan ucapan verbal, dll. Sebaliknya, menghapal secara membabi-buta, malah akan membuntukan otak anak.
Selain itu, menurut guru di Jamiatul Quran ini, pengalaman menunjukkan bahwa anak anak yang menghapal Quran dengan melalui proses isyarat ini (jadi mulai sejak balita sudah masuk ke sekolah itu) lebih berhasil dibandingkan anak-anak yang masuk ke sana ketika usia SD. Selain itu, menghapal AlQuran lengkap dengan pemahaman atas artinya jauh lebih bagus dan awet (nggak cepat lupa) bila dibandingkan dengan hapal (mulut).

inspirasi sahabat