Belajar dan Menghafal Qur'an dengan Hati


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ


اَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَتُهُ
Kisah Sekolah Penghafal Qur’an Balita Di Iran









Kisah Seorang Ibu Yang Menyekolahkan Anaknya di Iran
Saya tinggal di Iran dan punya usia anak empat tahun. Sejak tiga bulan lalu, saya masukkan dia ke sekolah hafiz Quran untuk anak2. Setelah masuk, wah ternyata unik banget metodenya. (Siapa tau bisa dijadikan masukan buat sobat yang berkecimpung di bidang ini.) Anak-anak balita yang masuk ke sekolah ini (namanya Jamiatul Quran), tidak disuruh langsung ngapalin juz’ amma, melainkan setiap kali datang, diperlihatkan gambar misalnya, gambar anak lagi cium tangan ibunya, (di rumah, anak disuruh mewarnai gambar itu), lalu guru cerita tentangg gambar itu (jadi anak harus baik.dll).


Kemudian, si guru ngajarin ayat “wabil waalidaini ihsaana/Al Isra:23″ dengan menggunakan isyarat (kayak isyarat tuna rungu), misalnya, “walidaini”, isyaratnya bikin kumis dan bikin kerudung di wajah (menggambarkan ibu dan ayah). Jadi, anak2 mengucapkan ayat itu sambil memperagakan makna ayat tersebut. Begitu seterusnya (satu pertemuan hanya satu atau dua ayat yg diajarkan). Hal ini dilakukan selama 4 sampai 5 bulan. Setelah itu, mereka belajar membaca, dan baru kemudian mulai menghapal juz ‘amma.
Suasana kelas juga semarak banget. Sejak anak masuk ke ruang kelas, sampai pulang, para guru mengobral pujian-pujian (sayang, cantik, manis, pintar.dll) dan pelukan atau ciuman. Tiap hari (sekolah ini hanya 3 kali seminggu) selalu ada saja hadiah yang dibagikan untuk anak-anak, mulai dari gambar tempel, pensil warna, mobil2an, dll.
Habis baca doa, anak-anak diajak senam, baru mulai menghapal ayat. Itupun, sebelumnya guru mengajak ngobrol dan anak2 saling berebut memberikan pendapatnya. (Sayang anak saya karena masalah bahasa, cenderung diam, tapi dia menikmati kelasnya).
Setelah berhasil menghapal satu ayat, anak-anak diajak melakukan berbagai permainan. Oya, para ibu juga duduk di kelas, bareng2 anak2nya. Kelas itu durasinya 90 menit .
Hasilnya? Wah, bagus banget! Ketika melihat saya membuka keran air akan terlalu besar, anak saya akan nyeletuk, “Mama, itu israf (mubazir)!” (Soalnya, gurunya menerangkan makna surat Al A’raf :31 “kuluu washrabuu walaatushrifuu/ makanlah dan minumlah, dan jangan israf/ berlebih2an) .
Waktu dia lihat TV ada polisi ngejar2 penjahat, dia nyeletuk “Innal hasanaat tushrifna sayyiaat/ Sesungguhnya kebaikan akan mengalahkan kejahatan” (Hud:114). Teman saya mengeluh (dengan nada bangga) bahwa tiap kali dia ngobrol dengan temannya tentang orang lain, anaknya akan nyeletuk “Mama, ghibah ya?” (soalnya, dia sudah belajar ayat “laa yaghtab ba’dhukum ba’dhaa”/Mujadalah:12) .
Anak saya (dan anak2 lain, sesuai penuturan ibu2 mereka), ketika sendirian, suka sekali mengulang2 ayat2 itu tanpa perlu disuruh. Ayat2 itu seolah-olah menjadi bagian dari diri mereka. Mereka sama sekali tidak disuruh pakai kerudung. Tapi, setelah diajarkan ayat tentang jilbab (An-Nur:31)!, mereka langsung minta sama ibunya untuk dipakaikan jilbab.
Anak saya, ketika ingkar janji (misalnya, janji nggak main lama2, terus ternyata mainnya lama), saya ingatkan ayat “limaa taquuluu maa laa taf’alun” (As-Shaf:2). dia langsung bilang “Nanti nggak gitu lagi Ma.!” Akibatnya, jika saya mengatakan sesuatu dan tidak saya tepati, ayat itu pula yang keluar dari mulutnya!



Setelah tanya2 ke pihak sekolah, baru saya tahu bahwa metode seperti ini, tujuannya adalah untuk menimbulkan kecintaan anak2 kepada Al Quran. Anak2 balita itu di masa depan akan mmpunyai kenangan indah tentang Al Quran. Saya pikir2 benar juga. Saya ingat, dulu waktu kecil pergi ke TPA (Taman Pendidkan Al Quran) di Indonesia, rasanya maless..banget (Kalo nggak dipaksa ortu, nggak jalan deh). Bagi saya, TPA identik dengan beban berat, PR yang banyak, hapalan bejibun, guru galak, dsb. Pernah saya dengar, di sekolah Kristen anak2 diberi hadiah dan dikatakan kepada mereka bahwa itu dari Yesus. Nah, kenapa kita kaum muslim yang meyakini bahwa agama kitalah yang paling benar, tidak meniru cara ini agar anak2 merasa cinta kepada Allah dan Quran? Bagaimanapun, dunia anak2 adalah dunia materi. Mereka baru bisa mencerap hal2 yang nyata, seperti hadiah (dan belum paham, pahala itu apa).
Para orangtua teman sekelas anak saya juga pada cerita bahwa anak2nya malah nangis kalau nggak diajak ke sekolah. Malah, buat anak saya, ancaman tidak diantar ke sekolah adalah ancaman paling ampuh, kalau dia nakal (dia akan langsung nangis, hehehe… mamanya nakal ya?).
Metode pengajaran ayat Quran dengan menggunakan isyarat ini diciptakan oleh seorang ulama bernama Sayyid Thabathabai. Anak beliau yang pertama pada usia 5 tahun di bawah bimbingan beliau sendiri, sudah hapal seluruh juz Al Quran, berikut maknanya, hapal topik2nya (misalnya, ditanyakan, coba sebutkan ayat2 mana saja yang berbicara tentang akhlak kepada orangtua, dia akan menyebut, ayat ini..ini..ini. .), dan mampu bercakap-cakap dengan bahasa Al Quran (misalnya ditanya; makanan favoritmu apa, dia akan menjawab “Kuluu mimma fil ardhi halaalan thayyibaa” (Al Baqarah:168). Anak kedua juga memiliki kemampuan sama, tapi sedikit lebih lambat, mungkin usia 6 atau 7 tahun.
Keberhasilan anak2 Sayyid Thabathabi itu benar-benar fenomenal ( bahkan anak pertamanya diberi gelar Doktor Honoris Causa di bidang Ulumul Quran oleh sebuah universitas di Inggris ), sehingga sejak itu, gerakan menghapal Quran untuk anak-anak kecil benar2 digalakkan di Iran. Setiap anak penghapal Quran dihadiahi pergi haji bersama orang-tuanya oleh negara dan setiap tahunnya ratusan anak kecil di bawah usia 10 tahun berhasil menghapal Al Quran ( jumlah ini lebih banyak kalau dihitung juga dengan anak lulusan dari sekolah2 lain ).
Salah satu tujuan Iran dalam hal ini ( kata salah seorang guru ) adalah untuk menepis isu-isu dari musuh-musuh Islam yang ingin memecah-belah umat muslim, yang menyatakan bahwa Quran-nya orang Iran itu beda/ lain daripada yg lain.
Saya pernah diskusi dengan teman saya dosen ITB, dia mengatakan bahwa metode seperti itu merangsang kecerdasan anak karena secara bersamaan anak akan melihat gambar, mendengar suara, melakukan gerakan-gerakan yang selaras dengan ucapan verbal, dll. Sebaliknya, menghapal secara membabi-buta, malah akan membuntukan otak anak.
Selain itu, menurut guru di Jamiatul Quran ini, pengalaman menunjukkan bahwa anak anak yang menghapal Quran dengan melalui proses isyarat ini (jadi mulai sejak balita sudah masuk ke sekolah itu) lebih berhasil dibandingkan anak-anak yang masuk ke sana ketika usia SD. Selain itu, menghapal AlQuran lengkap dengan pemahaman atas artinya jauh lebih bagus dan awet (nggak cepat lupa) bila dibandingkan dengan hapal (mulut).

Segenap Asa Dalam Sebuah Nama




بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ


اَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَتُهُ

Penulis: Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran


Memberikan nama yang baik adalah salah satu tugas orang tua bagi anaknya yang baru lahir. Ada aturan-aturan yang harus diikuti orang tua agar nama anak bisa memberikan kebaikan dan berkah bagi pemiliknya.
Sosok mungil itu telah ada dalam dekapan hangat sang ibu. Tibalah saat dia mendengar sapaan sang ayah yang penuh kasih sayang, memanggilnya dengan nama yang diberikan baginya. Nama yang indah, disertai dengan harapan yang membuncah, semoga perjalanan hidup si buah hati kelak akan sebaik nama yang disandangnya.


Barangkali jauh hari sebelum si kecil lahir ke dunia, tak kurang banyaknya nama yang dirancang oleh ayah dan ibu, dilatari oleh sekian banyak pertimbangan. Ada yang ingin menamai anaknya dengan nama tokoh yang dikagumi disertai harapan, anaknya akan sehebat tokoh itu. Ada yang membuat nama dari petikan suatu peristiwa penting untuk mengenang peristiwa itu. Ada pula yang sekedar mempertimbangkan faktor “keren dan enak didengar”.
Si kecil tumpuan harapan, sudah semestinya ayah bunda memberikan nama yang terbaik bagi dirinya, nama yang dicintai oleh Rabb semesta alam. Tidak ada jalan lain untuk mendapatkannya, kecuali menelaah kembali, bagaimana Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menerangkan seputar seluk-beluk nama kepada kita.
Pada hari pertama hadirnya buah hati di dunia, sang ayah boleh memberikan nama padanya. Kita bisa menyimak kisah pemberian nama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada putranya, Ibrahim.
“Semalam telah lahir anak laki-lakiku, maka aku beri nama dia dengan nama ayahku, Ibrahim.” (HR. Muslim no. 2315)
Al Imam An Nawawi menjelaskan bahwa kisah ini menunjukkan bolehnya memberikan nama anak pada hari kelahirannya. (Syarh Shahih Muslim, 15/75)
Juga kisah-kisah lainnya ketika para sahabat membawa anaknya yang baru lahir ke hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau memberikan nama pada hari itu juga. Kita lihat dalam kisah kelahiran ‘Abdullah bin Az Zubair ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mentahniknya:

“Kemudian beliau mengusapnya dan mendoakan kebaikan baginya, serta memberinya nama ‘Abdullah.”
(HR. Muslim no. 2146)
Demikian pula dalam kisah lahirnya ‘Abdullah bin Abi Thalhah z, ketika Anas bin Malik z membawanya ke hadapan beliau:

“Kemudian beliau mentahniknya dan memberinya nama ‘Abdullah.”
(HR. Muslim no.2144)
Juga ketika Abu Usaid membawa putranya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada hari kelahirannya:

“Maka pada hari itu beliau memberinya nama Al-Mundzir.”
(HR. Al Bukhari no. 6191 dan Muslim no. 2149)
Begitu pula penuturan Abu Musa Al Asy’ari:

“Telah lahir anak laki-lakiku, lalu aku membawanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, maka beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan kurma.” (HR. Muslim no. 2145)

Namun di sisi lain, kita dengar penjelasan bahwa seorang anak diberi nama pada hari ketujuh, sebagaimana yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui lisannya yang mulia:

“Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka pada hari ketujuh disembelih hewan, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR. Abu Dawud no. 2838)

Untuk memahami dua sisi ini, kita buka penjelasan Al Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani. Beliau mengatakan bahwa anak yang tak hendak diaqiqahi, maka pemberian namanya tidak ditangguhkan hingga hari ketujuh, sebagaimana yang terjadi dalam kisah Ibrahim bin Abi Musa, ‘Abdullah bin Abi Thalhah, demikian pula Ibrahim putra Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan ‘Abdullah bin Az-Zubair, karena tidak ada penukilan yang menyatakan bahwa salah seorang di antara mereka diaqiqahi. Sedangkan anak yang hendak diaqiqahi, maka pemberian namanya ditangguhkan hingga hari ketujuh sebagaimana yang ada dalam hadits-hadits lain. (Fathul Bari, 9/501)
Pun ayah bunda tak lupa memilihkan nama terbaik bagi anaknya. Namun toh semua itu tetap tak lepas dari tinjauan syariat, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memberikan tuntunan.

“Sesungguhnya nama yang paling dicintai oleh Allah adalah ‘Abdullah dan ‘Abdurrahman.” (HR. Muslim no. 2132)

Ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini menunjukkan keutamaan kedua nama itu atas seluruh nama, demikian dijelaskan oleh Al Imam an-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 14/113 ).
Ayah dan ibu pun bisa memilihkan nama dari deretan nama-nama para nabi. Bahkan demikian yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bagi putranya, dan demikian pula yang beliau berikan kepada anak-anak sahabatnya. Beliau berikan nama Ibrahim kepada anak Abu Musa Al Asy’ari, dan Yusuf kepada anak ‘Abdullah bin Salam, sebagaimana dikisahkan sendiri oleh Yusuf bin ‘Abdillah bin Salam:

“Rasulullah memberiku nama Yusuf dan mendudukkan aku di pangkuan beliau serta mengusap kepalaku.” (HR Bukhari dalam Al Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Adabul Mufrad no. 282 bahwa isnadnya shahih)
Tak layak dilalaikan, ada nama-nama yang haram disandang. Kita bisa melihat penjelasan Rasulullah mengenai hal ini.

“Sesungguhnya nama yang paling hina di sisi Allah adalah seseorang yang bernama Malikul Amlak (raja dari seluruh raja).” Ibnu Abi Syaibah menambahkan dalam riwayatnya: “Tidak ada raja kecuali Allah .” Al Asy’atsi berkata bahwa Sufyan mengatakan:“Seperti Syahan Syah.” (HR. Al Bukhari no.6206 dan Muslim no. 2143)
Kita simak ucapan Al Imam An Nawawi ketika menjelaskan hadits ini. Beliau mengatakan bahwa pemakaian nama ini haram, demikian pula memakai nama-nama Allah yang khusus bagi diri-Nya, seperti Al Quddus (Yang Maha Suci), Al Muhaimin (Yang Maha Memelihara), Khaliqul Khalq (Pencipta seluruh makhluk), dan sebagainya. (Syarh Shahih Muslim, 14/122)
Penamaan yang terlarang ini tidak hanya mencakup dalam lafadz bahasa Arab, namun lafadz dalam bahasa lain apabila maknanya demikian pun terlarang. Kita lihat dalam hadits di atas, Sufyan bin ‘Uyainah memasukkan nama Syahan Syah – yang bukan berasal dari lafadz bahasa Arab namun bermakna serupa dengan Malikul Amlak – dalam larangan ini.
Hal ini dijelaskan oleh Imam Al Mubarakfuri. Beliau menyatakan bahwa Sufyan bin ‘Uyainah memberikan peringatan bahwa nama yang tercela ini tidak terbatas pada Malikul Amlak saja. Akan tetapi, seluruh nama yang menunjukkan makna tersebut dengan bahasa apa pun termasuk dalam larangan ini. (Tuhfatul Ahwadzi, 8/102)
Begitu pula nama-nama yang mengandung tazkiyah1 ataupun nama-nama yang buruk, sehingga didapati kisah-kisah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengganti nama-nama itu dengan nama yang lebih baik. Inilah penuturan ‘Abdullah bin ‘Umar, mengungkapkan apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

“Anak perempuan ‘Umar bin Al Khaththab bernama ‘Ashiyah (wanita yang suka bermaksiat), maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberinya nama Jamilah (wanita yang cantik).” (HR. Muslim no. 2139)

Ibnul Atsir mengatakan –dalam penjelasan beliau yang dinukil di dalam ‘Aunul Ma’bud– bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengganti nama ‘Ashiyah tersebut karena syi’ar seseorang yang beriman adalah taat kepada Allah, sementara kemaksiatan adalah lawan dari ketaatan. (‘Aunul Ma’bud, 13/201)
Selain itu, ada pula putri Abu Salamah yang semula bernama Barrah (wanita yang suci) kemudian diganti oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan nama Zainab. Dia mengisahkan sendiri peristiwa ini:
“Dulu aku bernama Barrah, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memberiku nama Zainab.” (HR. Muslim no. 2142)
Bahkan kedua istri beliau, Zainab bintu Jahsy dan Juwairiyah bintu Al Harits, semula bernama Barrah, kemudian beliau mengganti nama mereka berdua. (HR .Muslim no. 2140 dan 2141)
Al Imam An Nawawi memberikan penjelasan bahwa hadits-hadits di atas mengandung makna penggantian nama yang jelek atau nama yang dibenci menjadi nama yang baik. Telah pasti pula adanya hadits-hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengganti nama banyak sahabat. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan pula bahwa alasan penggantian nama ini ada dua, yaitu karena mengandung tazkiyah (pensucian) atau dikhawatirkan terjatuh pada tathayyur2. (Syarh Shahih Muslim, 14/120-121)
Kita lihat dalam kisah Ibnu ‘Umar di atas, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tidak mengganti nama putri ‘Umar bin Al Khaththab menjadi Muthi’ah (wanita yang taat) – padahal lawan dari kata ‘Ashiyah adalah Muthi’ah – karena ditakutkan nama tersebut mengandung tazkiyah. (Áunul Ma’bud, 13/201)
Ada satu hal yang perlu diketahui, dalam Islam disyariatkan memanggil seseorang dengan nama kunyah3 walaupun orang itu belum memiliki anak. Demikian pula yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada seorang anak kecil, seperti yang kita dengar dalam penuturan oleh Anas bin Malik:

“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah orang yang paling baik akhlaknya, dan aku mempunyai saudara laki-laki yang telah disapih bernama Abu ‘Umair. Apabila Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam datang kemudian melihatnya, beliau biasanya mengatakan: ‘Wahai Abu ‘Umair! Apa yang dilakukan burung kecilmu?’ Dia biasa bermain-main dengan burung kecil itu.” (HR. Muslim no. 2150)
Perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini menunjukkan bolehnya memberikan nama kunyah kepada seseorang yang belum memiliki anak atau kepada anak-anak, dan ini bukan termasuk dusta. Demikian dijelaskan oleh Al Imam An Nawawi ketika membicarakan hadits ini. (Syarh Shahih Muslim, 14/129)
Manakala telah gamblang tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, apakah selayaknya seorang ayah atau seorang ibu –yang ingin mempersembahkan seluruh kebaikan bagi putra-putrinya yang mengemban segenap harapan mereka– akan melalaikan hal ini? Karena bagaimanapun, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.


Dicopy dari: www.asysyariah.com

Saat Si Kecil Tumbuh Dalam Rahim


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ


اَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَتُهُ


Penulis: Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran


Orang tua mengharap anaknya menjadi anak yang shalih adalah biasa. Sayangnya, tidak banyak orang tua yang mau menempuh jalan agar harapannya itu bisa terwujud. Padahal Islam telah banyak memberikan bimbingannya baik di dalam Al Qur’an maupun Sunnah, termasuk saat masih di dalam rahim.
Anak adalah sosok mungil idaman yang sangat dinanti kehadirannya oleh sepasang ayah bunda. Semenjak melangkah ke jenjang pernikahan, mereka berdua telah menumbuhkan harapan akan lahirnya si buah hati. Mereka terus memupuk harapan itu dengan menjaga calon bayi yang memulai kehidupannya di rahim ibunya, hingga saatnya hadir di dunia.
Setiap orang tua tentu menginginkan anaknya lahir dalam keadaan yang sebaik-baiknya. Segala upaya dikerahkan untuk mewujudkan keinginan mereka. Tentu tak patut dilupakan sisi-sisi penjagaan dan pendidikan yang telah diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Bahkan dengan inilah orang tua akan mendapatkan kemuliaan bagi anaknya dan bagi diri mereka.


Dapat disimak pengajaran ini dalam indahnya sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Di sana didapati bimbingan yang sempurna untuk kita terapkan dalam mendidik anak. Bahkan sebelum hadirnya sosok mungil itu pun Islam telah memberikan tuntunan penjagaan. Terus demikian tuntunan itu secara runtut didapati hingga saat melepas anak menuju kedewasaan.

Saat Kedua Orang Tua Bertemu

Inilah tuntunan Islam sebelum bertemunya dua mani yang menjadi bakal janin dengan izin Allah. Usai pernikahan, ketika sepasang pengantin bertemu untuk pertama kalinya, disunnahkan mempelai pria memegang ubun-ubun istrinya dan mendoakannya. Didapati hal ini di dalam ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam:

“Apabila salah seorang dari kalian menikahi seorang wanita atau membeli seorang budak, maka hendaknya ia memegang ubun-ubunnya, menyebut nama Allah dan mendoakannya dengan barakah, serta mengucapkan, ‘Ya Allah, aku memohon kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan seluruh sifat yang Engkau jadikan padanya dan aku memohon perlindungan-Mu dari kejelekannya dan kejelekan sifat yang Engkau jadikan padanya.’ Apabila ia membeli unta, maka hendaknya ia pegang ujung punuknya dan berdoa seperti itu juga.”

(Diriwayatkan oleh Imam al- Bukhari dalam Af’alil ‘Ibad dan Imam Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Hakim, al-Baihaqi dan Abu Ya’la dalam Musnadnya dengan sanad hasan, dan disahihkan oleh Imam al-Hakim dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat “Adabuz Zifaaf fis Sunnatil Muthahharah”, hal. 20, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah)

Dalam suasana pengantin baru, sang mempelai tak lepas dari tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam. Demikian pula ketika kehidupan rumah tangga terus berlangsung. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam juga memberikan pengajaran kepada setiap suami istri untuk mulai menjaga calon anak mereka ketika mereka hendak bercampur (jima’). Beliau bersabda :

“Apabila salah seorang dari kalian ketika mendatangi istrinya mengatakan : ‘Dengan nama Allah, ya Allah, jauhkanlah syaithan dari kami dan jauhkanlah syaithan dari apa yang engkau rizkikan kepada kami’, jika Allah tetapkan terjadinya anak, syaithan tidak akan dapat memudharatkannya.”

 (Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari)
Ibnu Hajar di dalam Fathul Bari menjelaskan bahwa maksud perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam “Syaithan tidak akan memudharatkannya” yaitu syaithan tidak akan memalingkan anak itu dari agamanya menuju kekafiran, dan bukan maksudnya terjaga dari seluruh dosa (‘ishmah).

Menjaga Janin dari Hal-hal yang Menggugurkannya

Ketika benih telah mulai tumbuh, banyak upaya yang dilakukan oleh sepasang calon ayah bunda untuk menjaga janin yang ada di perut ibunya. Sang calon ibu akan mulai memilih makanannya, mengkonsumsi segala macam vitamin yang dapat menunjang kehamilannya, menjaga waktu istirahatnya, melakukan olah raga khusus dan mengatur aktivitasnya. Tak lupa mereka memantau keadaan calon bayi dengan terus memeriksa kesehatannya.
Akan tetapi, adakalanya janin gugur bukan karena semata sebab medis. Terkadang ada sebab lain yang mengakibatkan gugurnya kandungan seorang ibu. Inii kadang-kadang tidak disadari oleh kebanyakan orang.
Semestinya kita mengetahui peringatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam dari hal-hal semacam ini yang diterangkan oleh syari’at, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan untuk membunuh ular yang disebut dengan dzu thufyatain yang dapat menyebabkan gugurnya janin. Beliau bersabda:

“Bunuhlah dzu thufyatain, karena dia dapat membutakan mata dan menggugurkan janin.”(Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari)

Apakah dzu thufyatain? Dijelaskan oleh Ibnu ‘Abdil Barr bahwa dzu thufyatain adalah jenis ular yang mempunyai dua garis putih di punggungnya.
Perintah Rasulullah ‘Shallallahu ‘alaihi Wasallam ini menunjukkan wajibnya menjaga dan menjauhkan hal-hal yang dapat mebahayakan janin, dan ini merupakan salah satu pintu penjagaan dan perhatian syari’at ini terhadap janin dan keadaannya.

Keringanan bagi Wanita Hamil untuk Berbuka

Tak jarang kondisi seorang ibu yang mengandung calon bayi di dalam rahimnya lemah. Suplai makanan yang dikonsumsinya harus terbagi untuknya dan untuk janin yang ada di dalam kandungannya. Sementara ketika bulan Ramadhan tiba, kaum muslimin diwajibkan untuk melaksanakan puasa, menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar hingga tenggelamnya bulatan matahari. Dengan ilmu dan hikmah-Nya, Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan keringanan kepada hamba-hamba wanitanya yang sedang hamil dan menyusui untuk tidak menjalankan kewajiban berpuasa.
Ini dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam:

“Sesungguhnya Allah Yang Maha Mulia dan Maha Tinggi menggugurkan separuh shalat atas orang yang bepergian dan menggugurkan kewajiban berpuasa dari wanita yang hamil dan menyusui.”
 (Diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah dan sanadnya hasan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam at-Tirmidzi. Dihasankan oleh Syaikh Albani dalam “Shahih Sunan An Nasa’i” dan dalam “Shahih Sunan Ibnu Majah” no. 1353, beliau berkata: hadits hasan shahih)
‘Abdullah ibnu ‘Abbas radliyallahu‘anhuma memberikan penjelasan bahwa jika seorang wanita yang hamil mengkhawatirkan dirinya dan wanita yang menyusui mengkhawatirkan anaknya selama Ramadhan, maka keduanya berbuka (tidak berpuasa) dan setiap hari memberi makan satu orang miskin serta tidak mengqadha’ puasanya.

Inilah bentuk-bentuk penjagaan Islam terhadap anak sebelum ia lahir ke dunia. Terlihat dengan gamblang perlindungan agama Allah ini terhadap jiwa seorang manusia. Terbaca dengan jelas kasih sayang Allah Subhanahu wata’ala bagi seluruh hamba-Nya. Oleh karena itu, selayaknya ayah dan bunda memperhatikan penjagaan buah hati mereka.

“Barangsiapa yang menjaga kehidupan satu jiwa, maka seakan-akan ia menjaga kehidupan seluruh manusia.” (al-Maidah: 32)

Wallahu ta’ala a’lamu bish shawab.


Bacaan :

- Adabuz-Zifaaf, asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani
- Ahkamuth Thifl, asy-Syaikh Ahmad al-‘Aisawy

Dicopy dari www.asysyariah.com

“Wasiat Luqman Kepada Anaknya” (Pertama)




بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ


اَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَتُهُ


Abu Khaulah Zainal Abidin


Luqman adalah hamba ALLAH yang sholeh, yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa abadikan nama, wasiat, dan sebagian kisahnya di dalam AL Qur’an. ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa mengaruniainya Al Hikmah, sehingga jadilah ia hamba yang bersyukur kepada ALLAH. Dan ketika para Sahabat -radhiallahu anhum- gelisah dan khawatir -dengan adanya peringatan ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa terhadap orang-orang yang mencampuradukkan keimanan dengan kedzaliman (الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ /Al An’aam: 82)- Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- segera mengingatkan mereka kepada ucapan Luqman di dalam Al Qur’an

ألم تسمعوا ما قال العبد الصالح :….

(Artinya: “Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan seorang hamba yang sholeh:…..)



Maka, hendaknya kita pun mengambil pelajaran dari wasiat Luqman kepada anaknya.

ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa mengawali wasiat Luqman ini dengan menggambarkan keutamaan Luqman -berupa hikmah, yakni ilmu dan kefahaman-. Dan ALLAH mengawalinya pula dengan perintah untuk bersyukur kepada ALLAH serta manfa’atnya :

وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ

Artinya: (Dan sungguh telah Kami berikan hikmah kepada Luqman (-yaitu-); Bersyukur kepada-Ku. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka seseungguhnya ia bersyukur untuk dirinya. Dan barangsiapa yang kufur (tidak bersyukur), maka sesungguhnya ALLAH itu Maha Kaya lagi Terpuji.) (Luqman: 12)
Kemudian ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa berfirman:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

(Artinya: Dan (-ingatlah-) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberikan wejangan: “Wahai anakku, janganlah kau sekutukan ALLAH. Sesungguhnya perbuatan menyekutukan ALLAH (syirik) itu kedzaliman yang sangat besar.”) (Luqman: 13)

Kata (وَهُوَ يَعِظُهُ ) di dalam ayat ini menggambarkan bagaimana Luqman dalam keadaan menyengaja memberikan wejangan kepada anaknya.
Inilah pelajaran pendahuluan -bagi para orang tua- dari kisah Luqman, yakni menyengaja memberikan wejangan kepada anak-anaknya, terutama tentang perkara-perkara yang penting mereka ketahui dan amalkan. Seorang kepala keluarga hendaknya menyiapkan waktu-waktu khusus untuk memberikan wejangan kepada anak-anak dan isterinya. Orang tua -terutama ayah- harus membiasakan dan melatih diri berbicara di hadapan anak di dalam suasana memberikan pelajaran atau nasihat.
Mengadakan majelis keluarga sangat besar manfaatnya, baik bagi orang tua -yang memberi wejangan- maupun bagi anak -yang mendengarkannya-. Suasana bermajelis akan menimbulkan komunikasi dua arah yang lebih dari sekedar obrolan, dan menumbuhkan keterbukaan di antara orang tua dan anak.. Kesan formal yang ditimbulkannya juga dapat membantu menjaga “posisi” orang tua – anak, atau bahkan memperbaikinya. Anak juga -kemudian- akan melihat orang tuanya sebagai pendidik atau pemberi arahan dan nasihat, bukan sekedar pencari nafkah bagi keluarga. Orang tua juga -kemudian- akan melihat anaknya sebagai murid atau anak didik, bukan sekedar keturunan atau anggota keluarga.

Wasiat Pertama

يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

(Artinya: “Wahai anakku, janganlah kau sekutukan ALLAH. Sesungguhnya perbuatan menyekutukan ALLAH (syirik) itu kedzaliman yang sangat besar.”) (Luqman: 13)
Inilah wasiat pertama Luqman kepada anak-anaknya, yakni berupa peringatan untuk menjauhi perbuatan mensyarikatkan (menyekutukan) ALLAH serta penjelasan akan bahayanya. Inilah perkara terpenting yang harus diperhatikan oleh setiap orang tua, yakni perhatian terhadap aqiedah anak-anaknya. Perhatian untuk menjaga fitrah anak-anaknya agar tetap dalam keadaan mentauhidkan ALLAH. Perhatian untuk menyelamatkan anak-anaknya dari terjerumus ke dalam kesyirikan.
Sudah seharusnya orang tua mempunyai kekhawatiran terhadap aqiedah anak-anak mereka kelak sepeninggalnya. Artinya, orang tua harus membekali anak dengan ilmu yang cukup agar anak-anaknya kelak tetap mentauhidkan ALLAH. Perhatikanlah apa yang diwasiatkan Nabi Ibrahim -alaihissalaam-. kepada anak-anaknya.

وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

(Artinya: Dan Ibrahim-pun mewasiatkan anaknya tentang itu, demikian pula Ya’qub, “Wahai anak-anakku. Sesungguhnya ALLAH telah memilih agama ini (-Islam-) bagimu, maka janganlah kalian mati kecuali di dalam keadaan sebagai muslim.”) (Al Baqarah: 132)
Demikian pula kekhawatiran Nabi Ya’qub -alaihissalaam- terhadap aqiedah anak-anaknya, sehingga dia memerlukan kepastian berupa janji anak-anaknya untuk tetap mentauhidkan ALLAH.

أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا
نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آَبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ

(Artinya: Adakah kamu hadir ketika (-tanda-tanda-) maut mendatangi Ya’qub, ketika ia berkata kepada anakanaknya, “Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab,”Kami akan menyembah rabb-mu, rabb nenek moyangmu; Ibrahim, Isma’il, dan Ishaq, (-yaitu-) Rabb Yang Maha Esa, dan kami hanya tunduk kepada-Nya.”) (Al Baqarah:133)
Cukuplah kedua contoh (Nabi Ibrahim dan Ya’qub -alaihimassalaam-) di atas menjadi pelajaran bagi kita -para orang tua-, bahwa hendaknya kita lebih khawatir terhadap perkara agama atau aqiedah anak-anak kita ketimbang ” Di mana nanti mereka tinggal ?” atau “Siapa yang akan memberi mereka makan?” -sebagaimana sering dikhawatirkan kebanyakan orang tua akan nasib anak-anaknya sepeninggal mereka.
Tauhid (Mengesakan ALLAH) merupakan perkara terpenting yang ALLAH perintahkan atas hamba-Nya. Demikian pula, Syirik (Menyekutukan ALLAH) merupakan perkara terpenting yang ALLAH larang atas hamba-Nya. Oleh karenanya tidaklah ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa mengutus rasul-Nya di setiap jaman, kecuali mereka mengajak manusia kepada Tauhid dan menjauhi perbuatan syirik.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

(Artinya: Dan telah Kami utus pada setiap umat rasul (-untuk menyeru-), “Sembahlah ALLAH, dan jauhilah Thaghut!”) (An-Nahl:36)
Maka perkara Tauhid dan Syirik menjadi hal terpenting pula yang harus diajarkan kepada anak sedini mungkin. Keduanya (menanamkan Tauhid dan menjauhi perbuatan Syirik) dilakukan bersamaan, karena tidaklah ALLAH memerintahkan hamba-Nya mentauhidkan ALLAH kecuali bersamaan pula dengan itu melarangnya berbuat syirik.
Menanamkan Tauhid kepada anak -sejak dini- dan menjauhkan mereka dari perbuatan syirik ditempuh dengan menumbuhkan penghayatan melalui pembiasaan -sholat dan berdo’a, misalnya-, serta menjauhkan mereka dari rasa takut yang tidak beralasan (-khauf sirry-). Di samping itu juga melalui pendekatan nalar manakala kemampuan menalarnya sudah memadai.
Mengajari anak lafadz-lafadz do’a dan dzikir serta membiasakan mereka berdo’a merupakan cara pertama menanamkan Tauhid kepada anak, karena (-baca juga tulisan saya yang berjudul “Berdo’alah Kalian…!“-) :
  • Berdo’a merupakan tanda imannya seseorang akan adanya ALLAH, maka mengajari anak berdo’a itu artinya juga menanamkan keyakinan kepadanya bahwa ALLAH itu ada.
  • Berdo’a merupakan tanda imannya seseorang akan Maha Mendengar dan Maha Mengetahui-nya ALLAH, maka mengajari anak berdo’a itu artinya juga menanamkan keyakinan kepadanya bahwa ALLAH itu Maha Mendengar (-apa yang disampaikan oleh hamba-Nya-) dan Maha Mengetahui (-apa yang diperbuat oleh hamba-Nya dan segala permasalahan yang dihadapi mereka-).
  • Berdo’a merupakan tanda imannya seseorang akan Maha Kaya-nya ALLAH, maka mengajari anak berdo’a itu artinya juga menanamkan keyakinan kepadanya bahwa ALLAH Maha Kaya (-dan Kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu-) serta mampu memenuhi seluruh kebutuhan hamba-Nya.
  • Berdo’a merupakan tanda baik sangkanya seseorang terhadap ALLAH -karena mustahil seseorang berdo’a dan memohon kepada ALLAH kecuali karena dia berharap dan menyangka bahwa ALLAH pasti akan mengabulkan do’a dan memenuhi permintaannya-, maka mengajari anak berdo’a itu artinya juga menanamkan perasaan senantiasa berbaik sangka kepada ALLAH, sebagaimana hal itu wajib dimiliki oleh setiap muslim terhadap rabb-nya. Bukankah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mewasiatkan kita akan hal itu;
عن جابر بن عبدالله الأنصاري، قال:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم، قبل موته بثلاثة أيام، يقول
لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بالله عز وجل”.

(Dari Jabir bin Abdillah Al Anshary, berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam berkata -tiga hari sebelum wafatnya- ,”Janganlah di antara kalian mati, kecuali di dalam keadaan berbaik sangka kepada ALLAH Azza wa Jalla.”) (HR:Muslim)
  • Berdo’a merupakan tanda rasa butuhnya seorang hamba akan rabb-nya -karena mustahil seseorang meminta kepada yang lain jika ia merasa mampu memenuhinya sendiri- serta pengakuan bahwasanya ALLAH lah satu-satunya tempat meminta pertolongan -sebuah pengakuan yang juga diucapkan setiap muslim di dalam sholatnya-, maka mengajari anak berdo’a itu artinya juga menanamkan perasaan butuh akan ALLAH dan pengakuan bahwasanya ALLAH sajalah satu-satunya yang layak diibadahi dan dimintai pertolongan. Dan ini (berdo’a) merupakan inti ibadah serta wujud mengesakan (mentauhidkan) ALLAH yang paling nyata. Ini pulalah di antara hikmah kalimat-kalimat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada Ibnu Abbas -radhiallahu anhu- :
إذا سألت فاسأل الله، وإذا استعنت فاستعن بالله،

(“…Jika kau berdo’a, berdo’alah kepada ALLAH. Dan jika memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada ALLAH…”) (HR: At-Ttirmidzi)
Kemudian, menjauhkan anak dari perasaan takut yang tidak beralasan (-khauf sirry-) juga merupakan cara pertama untuk menjauhkan mereka dari kecenderungan kepada kesyirikan. Khauf Sirry (takut tersembunyi) adalah sejenis takut yang tidak beralasan dan bukan merupakan tabi’at asal manusia. (-baca juga tulisan saya yang berjudul “Kenapa Harus Takut?“-). Yang termasuk Khauf Sirry ini adalah seperti; takutnya seseorang kepada cerita-cerita hantu dan sejenisnya, yang ini -sebagaimana yang dijelaskan Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -rahimahullahu ta’alaa- di dalam Syarah Tsalatsatul Ushul- merupakan jenis kesyirikan. Karena tidaklah seorang takut kepada yang tidak beralasan untuk ditakuti itu kecuali karena ada keyakinan bahwa sesuatu tersebut memiliki kemampuan tertentu -seperti mendatangkan manfaat atau mudharat-.
Syirik tumbuh tidak lain karena ada keyakinan bahwa ada sesuatu (benda mati atau makhluq hidup) selain ALLAH Subahaanahu wa ta’alaa yang memiliki sifat-sifat ilaahiyah (berhak diibadahi: disembah, dimintai pertolongannya, dicintai, ditakuti, dijadikan tempat bergantung). Dan kecenderungan yang pertama kali tumbuh pada manusia -terutama anak-anak- adalah rasa takut. Maka hendaknya anak-anak dijauhkan dari cerita-cerita atau khayalan-khayalan yang membuat tumbuhnya khauf sirry pada jiwa mereka. Karena bibit-bibit kesyirikan pertama kali tumbuh di dalam jiwa anak melalui takut yang tidak beralasan ini.
Kedua (mengajari anak berdo’a dan menjauhkan mereka dari cerita atau khayalan yang bisa menumbuhkan khauf sirry) hal inilah yang merupakan pendekatan pembiasaan dan penghayatan yang bisa kita tempuh di dalam rangka menanamkan Tauhid dan menjauhi Syirik pada jiwa anak-anak kita. Di dalam rangka pembiasaan -agar dengannya tumbuh keyakinan- ini pulalah mengapa anak -meskipun belum mencapai usia mampu membedakan baik dan buruk- sudah harus diajari sholat.
Di samping itu -bagi mereka yang sudah bisa diajak berpikir serta mampu membedakan yang baik dan yang buruk- hendaknya kita pergunakan pula cara-cara dengan pendekatan nalar. Melalui pendekatan nalar lah keyakinan yang sudah tumbuh melalui pendekatan pembiasaan tadi mendapatkan alasan logisnya.
ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa berfirman:

يَأيُّهَا النَّاسُ اعبُدُوا ربَّكُمُ الذَِّي خَلَقَكُم وَالذِّينَ مِن قَبلكُم لَعَلَّكُم تَتَّقُونَ(21) الّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرضَ فِرَاشًا وَالسَّمآءَ بِنآءً وَأنزَلَ مِنَ السَّمَآءِ مَاَءً فَأخرَجَ بِهِ مِن الثَّمراتِ رِزقًا لّكُم فَلاَ تَجعَلُواْ لَلَّهِ أندَادًا وَأنتُم تَعَلُمونَ [البقرة:22،21].

(Artinya: Wahai manusia. Ibadahilah rabb-kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. Dia-lah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagi atap serta menurunkan hujan, lalu Dia keluarkan darinya segala macam buah-buahan sebagai rezki bagi kalian. Karena itu janganlah kalian mengada-adakan sekutu bagi ALLAH, padahal kamu mengetahui.) (Al Baqarah 21-22)

قال ابن كثير رحمه الله تعالى: ( الخالق لهذه الأشياء هو المستحق للعبادة ).

(Ibnu Katsir -rahimahullahu ta’alaa- berkata (-di dalam tafsirnya): “Yang Menciptakan segala itu semua tak lain adalah yang paling berhaq diibadahi.”)
Berkata Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin -rahimahullah ta’alaa- (-di dalam Syarah Tsalaatsatul Ushul-) :
“(-maksudnya-) jangan buat tandingan terhadap yang telah menciptakan kalian, orang-orang sebelum kalian, bahkan telah menjadikan bumi sebagai hamparan kalian, menjadikan langit sebagai atap, dan menurunkan hujan yang darinya Ia keluarkan berbagai macam buah-buahan, yang kemudian kalian beribadah kepada tandingan tadi sebagaimana seakan-akan kalian beribadah kepada ALLAH, yang kemudian kalian cintai sebagaimana seakan-akan kalian cintai ALLAH. Sesungguhnya perbuatan semacam itu tidaklah pantas bagi kalian -baik secara aqal maupun secara syar’i.
Ayat di atas merupakan satu contoh betapa ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa menuntut nalar kita untuk mengakui kekuasaan-Nya dengan cara mengesakan-Nya di dalam peribadatan, yakni tidak menyekutukan atau menyetarakan ALLAH dengan sesuatu apapun, baik di dalam do’a dan pengharapan maupun di dalam cinta dan keta’atan.
Ketika Luqman -alaihissalaam- berwasiat kepada anaknya agar tidak menyekutukan ALLAH, ia menjelaskan bahwa perbuatan tersebut (syirik) merupakan kedzaliman yang sangat besar. Dan memang tak ada kata atau istilah yang lebih tepat untuk mengungkapkan atau menggambarkan tentang bahaya dan buruknya syirik, kecuali kata dzulmun ‘adziimun (kedzaliman yang sangat besar) Ini juga bentuk pendekatan nalar. Karena mustahil menjelaskan (baca: menyifati) sesuatu dengan sesuatu yang tidak dimengerti. Maka tentu anaknya pun sudah memahami arti atau makna dzalim.
Karenanya, ketika sudah saatnya kita menjelaskan kepada anak -melalui pendekatan nalar- keutamaan Tauhid serta buruk dan bahayanya Syirik, mereka juga harus sudah mengenal dan terbiasa mendengar kosa kata yang memuat pengertian atau konsep-konsep penting; seperti kata adil -dan tentu saja menurut Islam-, karena mustahil menjelaskan dzalim tanpa lebih dahulu memahami konsep adil, dan mustahil menjelaskan buruk dan bahayanya syirik tanpa lebih dahulu memahami konsep dzalim.
Kita dapat memperkenalkan kosep adil kepada anak melalui cara yang sederhana, seperti: “Adil itu ibarat engkau menimbang sesuatu tidak berat atau panjang sebelah. Maka, manakala engkau menimbang sesuatu dengan meletakkan alat pengukurnya pada tempat yang tepat sehingga alat timbangan itu tetap dalam keadaan rata, itu artinya kau telah menimbang dengan adil, dan tentunya engkau suka melihat keadilan semacam ini.” “Adil itu manakala engkau menghukum seseorang yang berbuat salah sesuai dengan besar kesalahannya. Maka, manakala kau menghukum atau membalas kesalahan orang yang bersalah secara tidak berlebihan, atau membedakan antara hukuman bagi anak kecil yang bersalah dengan hukuman bagi orang dewasa, itu artinya kau telah berbuat adil; dan tentunya kau juga senang jika diperlakukan seperti itu.” “Adil itu manakala engkau menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Maka, manakala engkau menempatkan kambing di kandang kambing dan harimau di kandang harimau -tidak sebaliknya atau tidak mengumpulkan mereka dalam satu kandang-, itu artinya kau telah berbuat adil. Atau manakala seorang bapak menunaikan kewajibannya sebagai bapak dan anak menunaikan kewajibannya pula sebagai anak, itu artinya mereka telah berbuat adil. dan tentunya kau juga senang melihat yang demikian.”
Pengertian dan penghayatan anak -juga manusia pada umumnya- terhadap konsep dzalim sangat bergantung kepada pengertian dan penghayatan mereka terhadap konsep adil di atas. Maka perhatikanlah, sungguh sangat tidak aneh kalau orang-orang kafir -yang menganggap adil itu adalah sekedar sama rata sama rasa- kemudian melahirkan ideologi komunisme. Juga sungguh sangat tidak aneh kalau ada muslim -yang tidak memahami konsep adil menurut Islam ini- termakan oleh propaganda Liberalisme, Emansipasi wanita, dan semacamnya.
Setelah anak memahami adil , tentu akan lebih mudah bagi kita menjelaskan makna dzalim yang merupakan lawannya:

Dzalim itu ibarat kau menimbang sesuatu dengan berat sebelah. Maka, manakala engkau mengukur sesuatu dengan meletakkan alat pengukurnya tidak pada tempat yang tepat sehingga alat timbangan itu menjadi miring ke salah satu arah, itu artinya kau telah berbuat dzalim, dan tentunya kau tidak suka melihat keadaan seperti itu.” “Dzalim itu manakala engkau menghukum seseorang yang berbuat salah dengan hukuman yang tidak sesuai dengan besar kesalahannya. Maka, manakala engkau menghukum atau membalas kesalahan seseorang secara berlebihan sehingga melebihi besar atau tingkat kesalahannya, itu artinya kau telah berbuat dzalim, dan tentunya kau tidak suka diperlakukan seperti itu.” “Dzalim itu manakala engkau menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya. Maka, manakala engkau memperlakukan anak seperti orang tua atau sebaliknya, itu artinya kau telah berbuat dzalim. Manakala engkau menghormati orang yang senang berbuat maksiat dan menghina orang yang selalu mengerjakan keta’atan, itu artinya kau telah berbuat dzalim. dan tentunya kau tidak senang diperlakukan seperti itu.”

Maka, bagaimana jika ada yang menyamakan atau menyejajarkan sesuatu yang tidak pantas dipersamakan atau disejajarkan? Bagaimana jika ada yang menyamakan atau mendudukkan makhluq pada kedudukan Al Khaliq (Pendipta)? Bagaimana kalau ada orang menyembah sesuatu yang tidak pantas bahkan tidak berhak untuk disembah? Jawabnya, Itu semua adalah perbuatan dzalim, bahkan yang paling dzalim. Dan tak ada kedzaliman yang lebih besar mengalahi dzalimnya perbuatan (syirik) tersebut.

 إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيم


sebelum anak terlanjur cerdas




بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ



اَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَتُهُ

Abu Khaulah Zainal Abidin


Terlanjur cerdas ? Cerdas koq bisa terlanjur ? Bukankah setiap orang mendambakan anaknya cerdas ? Apalagi kata “terlanjur” konotasinya jelek . -suatu yang tidak diharapkan-, seperti; terlanjur basah, terlanjur jatuh, atau terlanjur menjadi bubur,

Anak cerdas, siapa tak mau ? Tetapi itu bukan segala-galanya. Terlebih kalau ia dijadikan dasar bagi segala pertimbangan, mengalahkan bekal-bekal hidup lainnya yang mutlak dimiliki setiap manusia. Apalagi jika yang dimaksud cerdas itu tak lebih dari sebentuk kemampuan menalar, memahami, dan menarik kesimpulan, atau sekedar mampu berpikir logis , menemukan dan memecahkan jawaban-jawaban matematis.


Bahkan sekalipun kecerdasan itu -juga- meliputi kemampuan mengenal dan mengelola perasaan diri, yang dengannya seseorang mampu memahami kemudian merespon orang lain melalui sikap dan tindakan. Sejenis potensi -yang menurut teori Emotional Quotient (EQ)-nya Goleman- berupa kecerdasan emosional, yang berfungsi mengimbangi kecerdasan intelektual !
Bahkan sekalipun kecerdasan itu -juga- berupa kemampuan memahami akan nilai-nilai dan makna kehidupan, menumbuhkan harapan-harapan serta keyakinan. Sejenis potensi -yang menurut teori Spiritual Quotient (SQ)-nya Danah Zohar dan Ian Marshall- berupa kecerdasan spiritual, yang berfungsi mengimbangi bahkan mengendalikan kecerdasan intelektual dan emosional sekaligus !
  • Latih Mereka Menjadi Orang Yang Amanah

Sesungguhnya amanah dan sifat-sifat yang menyertainya, seperti jujur, menepati janji, dan tidak khianat merupakan dasar dari segala bentuk tanggung-jawab pada setiap pribadi -sebagai apapun dia-. Karena jujur dan bersifat amanah adalah awal dan modal dasar bagi seseorang di dalam hidup bermasyarakat. Untuk mengemban inilah ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.

إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْأِنْسَانُ
إِنَّهُ كَانَ ظَلُوماً جَهُولاً (الأحزاب:72)

(Sesungguhnya, telah Kami kemukakan amanat kepada langit, bumi ,dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu, khawatir akan mengkhianatinya. Dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh) (Al Ahzab: 72)
Melalui ayat di atas, tampaklah bahwa Amanah -berupa keta’atan dan kejujuran- adalah sesuatu yang ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa bebankan kepada manusia, namun manusia menganggapnya sebagai suatu perkara yang sepele. Karena itu ALLAH Subhaanahu wa ta’alla mencap manusia sebagai makhluq yang zalim dan bodoh. Artinya, menyepelekan perkara amanah merupakan satu di antara bentuk kezaliman. Dan seorang yang tidak amanah hanya mungkin cerdas dalam pandangan manusia, namun tidak dalam pandangan ALLAH.
Maka apa jadinya kecerdasan itu jika tidak dibarengi dengan kejujuran dan sifat amanah. Bukankah kezaliman yang ditimbulkannya akan menjadi berlipat ganda dibanding apabila tak disertai kecerdasan. Dengan kepandaian berbicara serta mengelola mimik dan tingkah laku secara meyakinkan -sebagaimana pemain sandiwara-, si cerdas tadi mengelabui manusia, menciptakan berjuta alasan untuk mengingkari janji, dan mengkhianati kepercayaan manusia kepadanya. Semua itu dengan modal kecerdasan.
Maka hendaknya sejak dini pendidikan harus mengutamakan perkara ini. Arti jujur dan amanah sudah harus diperkenalkan sejak pertama kali anak bisa diberi sedikit pengertian, Segala upaya dan sarana yang dapat menanamkan kejujuran dan menumbuhkan sifat amanah harus diciptakan. Dan segala suasana dan sarana yang dapat menghantarkan kepada sifat-sifat bohong, mungkir, dan khianat harus dihilangkan dari segala media pendidikan.
Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:

عن أبي هريرة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:آية المنافق ثلاث: إذا حدث كذب، وإذا وعد أخلف،
وإذا اؤتمن خان. (البخاري)

Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu- , dari Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabada: “Tanda kemunafiqan itu tiga. Jika bicara, dusta. Jika berjanji, ingkar. Jika diamanahi, khianat.” (HR; Al Bukhari)

Melalui Hadits di atas nampak bahwa dusta, ingkar janji, dan khianat berasal dari akar sifat yang sama, yakni munafiq..Karena itu, jika kita mengajari anak berdusta, mengingkari janji, dan mengkhianati amanah, artinya kita telah menanamkan sifat-sifat munafiq pada anak.
Tentu saja tak ada orang tua yang menginginkan anaknya jadi orang munafiq. Tak ada orang tua -yang sehat- merasa atau mengaku telah mengajari anaknya berdusta, terbiasa mengingkari janji, atau mengkhianati amanah. Tentu saja kita semua tidak merasa telah berbuat seperti itu.
Tetapi kenapa dongeng-dongeng khayali yang kita jejali ke telinga mereka sebagai pengantar tidurnya ? Kenapa kita biarkan mereka membaca cerita-cerita fiktif sejak pertama sekali mereka bisa membaca ? Kenapa sandiwara dan sinetron kita biarkan menjadi konsumsi mereka sehari-hari ? Apalagi kalau disertai harapan dapat mengambil pelajaran atau hikmah darinya -seperti kebanyakan orang yang menganggap film atau sandiwara bisa jadi media da’wah. Bukankah itu semua dusta ? Kalau tidak dusta dari sisi cerita, dusta dari sisi peran. Bagaimana mungkin kita mengajarkan nilai kejujuran lewat cara-cara dusta ?
Selain itu, mungkin kita sering mengingkari apa yang kita janjikan kepada anak kita Beli sepeda baru, berlibur ke rumah nenek, atau tamasya ke pantai, yang berulang kali janji tersebut harus kita perbaharui sambil tak lupa mengumbar macam-macam alasan. Menyuruh anak -berbohong- menjawab telepon atau mengatakan kepada tamu di depan rumah , “Papa tidak ada!“, Atau kita pernah ancam mereka, “Awas, jangan kasih tahu Mama!
Sungguh ternyata kita sendiri lah yang telah membuat anak-anak terbiasa dengan dusta. Ya, ternyata kita sendiri yang menginginkan -tanpa kita sadari- mereka jadi orang munafiq. Ternyata kita sendiri yang mengajari -tanpa kita sadari- mereka suka mengingkari janji dan mengkhianati amanah.
Maka tindakan yang harus ditempuh untuk mencetak anak-anak yang jujur dan amanah adalah meninggalkan cara-cara atau kebiasaan di atas. Selain itu perlu ditempuh upaya-upaya berupa latihan dan pembiasaan guna menanamkan sifat jujur, menepati janji, dan menjaga amanah. Anak perlu dilatih mengemban amanah-amanah yang mampu ia pertanggungjawabkan. Beri kesempatan mereka berjanji dan ajarkan serta mudahkan agar mereka mampu menunaikannya. Berikan sanksi -walaupun ringan- atas pelanggaran janjinya. Ajarkan mereka bersikap jujur serta ceritakan kepada mereka keutamaan bersikap jujur, tetapi bukan melalui dongeng atau cerita fiktif. Sebab -ingat sekali lagi- mustahil menanamkan kejujuran melalui kedustaan. Sampaikan kepada mereka kisah-kisah orang jujur serta buah dari kejujuran, seperti kisah Ka’ab bin Malik -radhiallahu anhu-.
Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya kita tanamkan pada diri mereka kecenderungan kepada sifat jujur dan menjaga amanah. Sebab, apalah artinya kecerdasan tanpa kejujuran dan sifat amanah. Bukankah kita tidak menghendaki anak kita menjadi orang yang pandai menipu.
  • Biasakan Mereka Bersikap Santun

Manusia adalah makhluq bermasyarakat yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Sopan-santun merupakan sifat mulia yang dapat menimbulkan rasa tenang dan hangat di dalam pergaulan bermasyarakat. Juga merupakan di antara sifat yang disukai ALLAH Subhaanahu wa ta’alaa. Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah berkata kepada Abdul Qais -radhiallahu anhu- :

“إن فيك خصلتين يحبهما الله: الحلم والأناة”.(رواه مسلم)

“Sesungguhnya pada dirimu ada dua sifat yang dicintai ALLAH. Santun dan berhati-hati.” (HR; Muslim)


Sopan-santun adalah sifat yang membuat pemiliknya disukai oleh orang lain, yang dengannya orang lain merasa aman dari lisan dan perbuatannya, sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- :
عن عامر قال: سمعت عبد الله بن عمرو يقول:
قال النبي صلى الله عليه وسلم: المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده، (ألبخاري)
Muslim (-yang sempurna-) adalah yang orang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya.” (HR: Al Bukhari)

Betapa tidak, dengannya ia akan menjaga lisan dan perbuatannya agar tidak mengganggu atau menyakiti orang lain. Dengannya pula ia bisa menempatkan diri di tengah lingkungannya. Ia mampu bersikap secara tepat di hadapan orang yang lebih tua, orang yang lebih muda, bahkan di hadapan orang-orang selayaknya dia belajar kepadanya. Dan ini merupakan satu di antara tanda-tanda pengikut Muhammad -Shallallahu alaihi wa sallam-, sebagaimana sabdanya:

عن عبادة بن الصامت أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
ليس منا من لم يجل كبيرنا ويرحم صغيرنا ويعرف لعالمنا

Dari Ubadah ibn Ash-Shaamit, bahwa Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Tidaklah termasuk umatku, mereka yang tidak hormat kepada orang-orang tua kami, tidak sayang kepada orang-orang muda kami, dan tidak mengakui ulama-ulama kami.” (Mustadrak Al Hakim)

Lebih dari itu, santun juga merupakan wujud dari kelembutan hati pemiliknya. Karena mustahil seseorang bersikap santun jika tidak memiliki kelembutan hati. Kelembutan hati lah yang menyebabkan seseorang senantiasa berhati-hati ketika bersikap di hadapan orang lain. Dan ini merupakan sifat yang disukai ALLAH -Subhaanahu wa ta’alaa- , sebagaimana yang dikatakan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- kepada Aisyah -radhiallahu anha-:

يا عائشة، إن الله رفيق يحب الرفق في الأمر كله ( متفق عليه)

Ya, Aisyah. Sesungguhnya ALLAH bersifat Lemah-Lembut, menyukai kelemahlembutan di dalam segala perkara.” (Muttafaqun Alaih)
Disebabkan santun dan lemah lembut lah akan terjaga persahabatan, bahkan ukhuwah (persaudaraan) dan terlaksana tolong-menolong -”ta’awun alal birri wat taqwa“- , yang mustahil semua itu terjadi tanpa dilandasi sifat-sifat di atas. Yakni sifat yang dapat memperindah dan mempercantik seseorang. Sifat yang membuat sebuah pribadi laku di dalam pergaulan. Sifat yang dengannya ia tidak hanya memikirkan dirinya semata, bahkan senatiasa berupaya sekuat tenaga memberikan kebaikan kapada saudaranya sebagaimana ia harapkan kebaikan itu juga berlaku baginya. Lebih dari itu, dengan sifat tersebut ia mampu memiliki empati terhadap penderitaan saudaranya. Perhatikanlah sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- di bawah ini:

عن أناس بن مالك عن النبي صلىالله عليه وسلم قال: لا يؤمن أحدكم حتى يحب لأخيه ما يحب لنفسه

Tidak sempurna iman kalian sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya.” (HR: Al Bukhari – Muslim)

عن النعمان بن بشير. قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
“مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتعاطفهم، مثل الجسد.
إذا اشتكى منه عضو، تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى”.(رواه مسلم)

Dari An-Nu’man bin Basyir -radhiallahu anhu-, berkata, telah bersabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- :“Perumpamaan orang-orang mu’min di dalam cinta kasih sayangnya dan keterikatannya seperti jasad yang satu. Apabila sakit salah satu anggota tubuhnya, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan sakitnya dengan panas dan demam.” (HR: Muslim)

Dengan demikian, segala upaya -sarana dan metode apa saja- yang dapat menumbuhkan sifat mulia ini harus ditempuh. Pendidikan sejak dini harus diarahkan untuk menumbuhkan sifat-sifat sopan-santun dan lemah-lembut. Orang tua harus memastikan sifat-sifat ini melekat pada anaknya sebelum anaknya terlanjur cerdas. Do’a, dzikir, shadaqah, menyantuni anak yatim, gotong-royong, atau menolong orang yang kesusahan adalah di antara hal yang dapat melembutkan hati.
Kemudian, hendaknya sejak kecil anak dibimbing bagaimana cara bertutur, duduk, bahkan berjalan di hadapan orang yang lebih tua. Juga bagaimana di hadapan orang yang lebih muda. Kesantunan dan sikap rendah hati mereka juga harus kita perhatikan manakala mereka berjalan dan mengeluarkan suara. Perhatikanlah wasiat Luqman kepada anaknya -sebagaimana yang diabadikan di dalam Al Qur’an- :

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ

(Artinya: “Dan sederhanalah di dalam berjalan serta rendahkan suaramu. Karena seburuk-buruk suara adalah suara keledai.”) (Luqman: 19)

Di samping itu, apa saja yang dapat menumbuhkan sifat-sifat sebaliknya, seperti kurang-ajar, tak tahu malu, atau beringas harus dihilangkan dari segala media pendidikan dan pemandangan mereka sehari-hari. Perhatikanlah peringatan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- akan hal ini:

ياعائشة ارفقي؛ فإِنَّ الرِّفقَ لم يكن في شىء قطُّ إلا زانه، ولا نزع من شىءٍ قطُّ إلاّ شانه”. (ابو داود)

Ya, A’isyah. Berlemahlembutlah. Karena sesungguhnya tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali ia menjadi penghiasnya. Dan tidaklah kelembutan tercabut dari sesuatu kecuali ia menjadikan sesuatu itu jelek.”
Pada kesempatan lain:

“من يحرم الرفق يحرم الخير (رواه مسلم)

Siapa yang terhalang untuk bersikap lembut, maka terhalang pula baginya kebaikan.”

Maka untuk itu, jauhkan dari anak penampilan sifat-sifat yang tidak baik, seperti kasar, brutal, sadis, vulgarisme, dan sikap tak punya malu, mulai dari bacaan, tontonan, maupun bentuk-bentuk permainan dan lingkungan pergaulan mereka. Yang kesemua itu lambat laun akan membentuk keperibadiannya. Orang tua harus memastikan tanda-tanda dari sifat-sifat yang tidak baik ini tak ada pada anaknya sebelum anaknya terlanjur cerdas.
Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya mereka telah terbiasa bersikap santun dan lemah lembut. Sebab apalah artinya kecerdasan jika tidak dibarengi dengan pekerti santun dan lembut hati, bahkan sekalipun anak tersebut jujur. Bukankah kita tak menghendaki mereka menjadi robot; cerdas, jujur, kaku, dingin, dan berpotensi menjadi sadis!!!
  • Didik Mereka Untuk Rajin
Rajin merupakan satu sifat yang sangat dipuji dalam Islam. Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- di dalam berbagai ungkapan menjelaskan akan keutamaannya . Di antara lain ucapannya -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah:

عن أبي هريرة ؛ قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول:
“لأن يغدو أحدكم فيحطب على ظهره، فيتصدق به ويستغني به من الناس، خير له من أن يسأل رجلا،
أعطاه أو منعه ذلك. فإن اليد العليا أفضل من اليد السفلى. وابدأ بمن تعول”. (رواه مسلم)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-, berkata: Aku telah mendangar Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda: “Sungguh seorang di antara kalian berangkat ke luar mengikat kayu di atas punggungnya dan bersedakah dengannya serta menjaga diri dari manusia itu lebih baik dari pada meminta-minta, diberi ataupun tidak. Karena sesungguhnya tangan yang di atas lebih utama dari pada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari yang menjadi tanggunganmu.” (HR: Muslim)

عن أبي هريرة قال وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: كان داود لا يأكل إلا من عمل يده

“Sesungguhnya Daud -Alaihissalaam- tidak makan kecuali dari hasil karya tangannya” (HR: Bukhari)

Ungkapan di atas -dan masih banyak lagi yang sema’na- menunjukkan betapa sifat rajin sangat ditekankan di dalam Islam. Syari’at diadakan tidak lain untuk memelihara lima hal. Memelihara agama, aqal, kehormatan, darah, dan harta. Dan rajin merupakan di antara sifat yang harus dimiliki demi menjaga kehormatan diri. Dengan sifat rajin pulalah seorang menjadi pribadi yang berguna bagi diri dan sekitarnya, bukan menjadi cela bagi diri dan beban bagi orang di sekitarnya.
Maka hendaknya segala sarana dan metode yang dapat menumbuhkan sifat rajin pada anak harus diupayakan. Melatih anak untuk bangun pagi, merapihkan kamar tidur, membersihkan kamar mandi, menyapu ruangan, teras, dan halaman, semua itu merupakan upaya pertama yang harus dilakukan untuk membiasakan anak bekerja dan menumbuhkan sifat rajin. Ketika sampai usia belajar, maka hendaknya dahulukan mengajar mereka menulis sebelum membaca. Biarkan anak belajar membaca dari apa yang dia tulis, karena menulis itu sifatnya aktif sedang membaca pasif. Perhatikan perkembangan kemampuan psikomotorik-nya untuk mengimbangi kemampuan kognitif-nya. Ajarkan pula mereka, misalnya, terbiasa mengolah barang-barang bekas sebelum mengambil keputusan untuk membeli yang baru.
Sebaliknya, segala penyebab, sarana, dan metode yang dapat menumbuhkan sifat malas pada anak harus ditiadakan atau dijauhkan dari anak. Malas -selain produk sistim sosial- asalnya adalah masalah fisik -seperti terlalu lemahnya tubuh untuk bergerak atau melakukan satu pekerjaan- . Namun jika tidak segera diambil tindakan ia berubah menjadi masalah mental. Karenanya, orang tua harus memperhatikan pertumbuhan fisik anak dan perkembangan motorik atau keterampilannya. Sudahkah gizi yang dibutuhkan bagi pertumbuhannya tercukupi ?Apakah ia terlalu kurus atau gemuk untuk umurnya ? Proporsionalkah berat badan dengan tingginya ? Apakah ia sudah bisa menjaga keseimbangan tubuhnya ? Cukup lincahkah gerakannya ? Bagaimana akurasi gerak atau bidikannya? Bagaimana kecepatan geraknya ? Bagaimana kekuatan tenaganya ? Bagaimana ketahanan tubuhnya, baik ketika menahan beban maupun ketika menahan lelah ? Keseluruhan masalah di atas -meski tidak selalu- sedikit banyak berpengaruh terhadap mentalnya.
Ulangi sering-sering sabda Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- berikut ini:

“المؤمن القوي خير وأحب إلى الله من المؤمن الضعيف. وفي كل خير.
احرص على ما ينفعك واستعن بالله. ولا تعجز… (رواه مسلم)

Mu’min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai ALLAH ketimbang mu’min yang lemah. Dan pada seluruhnya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah di dalam hal yang mendatangkan manfa’at bagimu, serta mohonlah pertolongan kepada ALLAH dan jangan merasa lemah…. (HR; Muslim)

Karenanya, segala bentuk kamuflase, dari kemalasan -ngamen misalnya-, atau main kartu, dadu, dan segala bentuk permainan yang menghabiskan waktu tidak boleh kita biarkan dilihat oleh anak kita kecuali kita jelaskan kepada mereka, “Itu orang malas! Itu pekerjaan orang malas !” Karena sesungguhnya, melalui kamufalse kemalasan yang sering mereka lihat lah kemalasan -sadar atau tidak disadari- menemukan pembenaran teorits, bahkan filosofisnya, Dan sifat licik merupakan hasil kombinasi cerdas dengan malas.
Kemudian, jangan dikira bahwa malas itu sekedar masalah mental. Malas juga bisa menjadi masalah keyakinan. Sebagaimana hasad (dengki) mengurangi kesempurnaan iman akan Taqdir, begitu pula dengan malas. Ketahuilah, bahwa sifat rajin akan menumbuhkan optimisme, dan optimisme adalah bagian dari wujud husnudz-dzonn billah (berbaik sangka kepada ALLAH). Maka, sebaliknya, malas akan menumbuhkan pesimisme, dan pesimisme adalah bagian dari wujud su’udz-dzon billah (berburuk sangka kepada ALLAH). Padahal Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah berwasiat::

لا يموتن أحدكم إلا وهو يحسن الظن بالله عز وجل“.

Jangan kalian mati, kecuali di dalam keadaan berbaik sangka kepada ALLAH.” (HR:Muslim dari Jabir bin Abdillah -radhiallahu anhu-)


Lebih dari itu, malas pulalah di antara -selain ilmu dan keyakinan- yang menyebabkan manusia -karena ingin menempuh jalan pintas- terjerumus ke dalam judi, lottre, bahkan ke dalam berbagai bentuk kesyirikan, seperti meminta kekayaan kepada kuburan, pohon, atau benda mati lainnya.
Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya mereka sudah terbiasa hidup rajin. Sebab, apalah jadinya jika anak terlanjur cerdas, sementara ia terbiasa dikuasai perasaan malasnya. Bukankah kita tidak menghandaki mereka menjadi orang yang licik.
  • Bina Mereka Menjadi Pribadi Yang Kuat
Badan yang kuat lebih berdaya guna ketimbang badan yang lemah. Dengan kekuatan bukan saja seseorang mampu menopang dirinya, bahkan mampu menolong orang lain. Dengan kekuatan seseorang mampu berlari dan melompat. Dengan kekuatan seseorang mampu memanggul beban di punggungnya atau bertahan melawan dorongan arus. Dengan kekuatan pulalah seseorang mampu menghadapi cuaca buruk dan memiliki kekebalan untuk melawan penyakit.
Maka demikian pula jiwa yang kuat. Islam memuji sifat kuat dan mengaitkannya dengan sabar. Kuat, sabar, atau tabah merupakan modal di dalam mengarungi kehidupan -yang memerlukan perjuangan dan penuh dengan cobaan-. Dengannya ia lebih berdaya guna, bermanfaat bagi orang lain, bersemangat dan kreatif, mampu memikul tanggung jawab dan berpendirian, serta mampu beradaptasi dan menetralisir perasaan dirinya. Karenanya, Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- mengajari kita memaknai kekuatan dengan kesabaran dan kemampuan mengendalikan hawa nafsu, sebagaimana sabdanya:
عن أبي هريرة رضي الله عنه:أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:
ليس الشديد بالصرعة، إنما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب.(البخاري)
Dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-, bahwasanya Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda: “Bukanlah yang dikatakan kuat itu jago gulat. Akan tetapi yang dikatakan kuat adalah yang mampu menguasai hawa-nafsunya ketika marah.” (HR: Al Bukhari)

Ya, dengan kesabaran akan lahir berbagai macam kebaikan. Manusia menjadi semakin kuat kemauannya, semakin tegar menghadapi tantangan, serta semakin tenang menghadapi ujian dan cobaan. Maka, upaya dan metode apa saja yang dapat melahirkan serta menumbuhkan kepribadian yang kuat dan sabar harus diciptakan. Perkara kuat dan sabar sudah harus mulai diajarkan ma’nanya dan ditanamkan kepada anak sedini mungkin. Pendidikan harus menjadikannya sebagai program dasar pembinaan sebelum yang lainnya. Perhatikan bagaimana Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- mengajarkan beberapa kalimat kepada Ibnu Abbas -radhiallahu anhu- , yang ketika itu usianya belum mencapai sepuluh tahun:

“….Ketahuilah. Bahwa seandainya seluruh manusia bersatu ingin memberikan manfa’at kepadamu, mereka tak akan mampu melakukannya lebih dari yang telah ALLAH tetapkan bagimu. Dan seandainya mereka bersatu ingin mencelakakanmu, mereka tak akan mampu melakukannya lebih dari yang telah ALLAH tetapkan atas mu….” (HR: At-Tirmidzi dari Ibnu Abbas -radhiallahu anhu-)

“…Ketahuilah. Bahwa pertolongan ALLAH datang melalui kesabaran, bersama perjuangan ada pengorbanan, dan bersama kesulitan ada kemudahan…”

Sebaliknya, segala sarana dan metode yang akan membentuk kepribadian cengeng, mudah marah, mudah patah semangat, dan mudah putus asa harus dihilangkan dari media pendidikan kita. Karena sesungguhnya seluruh sifat-sifat tersebut bersumber dari yang satu, lemah. Anak yang gampang menangis sebetulnya sama dengan anak yang gampang marah. Kemasannya saja yang berbeda, tetapi hakekatnya sama, lemahnya jiwa. Maka, jangan biarkan anak kita mengkonsumsi hal-hal yang melemahkan jiwanya, berupa sya’ir atau lagu-lagu cengeng, serta novel atau film-film picisan. Jangan biarkan anak terbiasa memanjakan perasaannya.
Ajarkan kepada mereka nilai-nilai kesatriaan, kesabaran dan ketangguhan yang diambil dari kisah para Nabi -alaihimussallam-, para Sahabat Nabi -radhiallahu anhum-, atau para Ulama dan Mujahid -rahimahumullah-, dan jangan sekali-kali lewat dongeng atau cerita fiktif. Jangan berlebihan memberikan perlindungan pada mereka. Biarkan mereka melatih diri menyelesaikan persoalan-persoalan mereka, baik di dalam menghadapi tantangan masalah, maupun terhadap teman-teman sebayanya. Jangan terlalu cepat memenuhi permintaan mereka, seandainya tidak mendesak. Jika mereka minta 10, berikan 5. Jika mereka minta sekarang, berikan nanti. Ajari mereka bersabar manakala tidak terpenuhi permintaannya. Atau masih banyak lagi cara dan kesempatan untuk melatih kesabaran dan kekuatan mereka.
Ya, sebelum anak terlanjur cerdas, hendaknya mereka telah terlatih bersabar serta memiliki jiwa yang kuat. Lemah akan menjadikan mereka mudah dipengaruhi orang serta gampang lari dari tanggung jawab. Apalah artinya kecerdasan jika tidak diiringi sifat kuat dan sabar. Bukankah kita tidak menghendaki anak kita menjadi orang yang pengecut, karena ternyata pengecut itu merupakan kombinasi cerdas dengan lemah.
Ya, apalah artinya cerdas tanpa amanah, santun, rajin, dan kuat. Bukankah kita tak menginginkan anak kita menjadi seorang penipu sadis yang licik lagi pengecut.


kecupan kasih sayang




بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
اَسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَتُهُ

Ummu ‘Abdirrahman Anisah bintu ‘Imran


Banyak hal yang bisa dilakukan orang tua untuk mengungkapkan kasih sayangnya kepada sang anak. Islam sebagai agama nan sempurna melalui kisah Rasul-Nya banyak memberikan teladan dalam hal ini.

Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan kasih sayang di dalam qalbu ayah dan bunda, sehingga senantiasa menghiasi segala apa yang ada antara ayah bunda dengan buah cinta mereka. Gambaran apa pun yang ada di antara ayah-ibu dengan anak mereka, tak lain melambangkan kasih sayang mereka. Sekeras apa pun tabiat sang ayah atau bunda, di sana tersimpan kecintaan yang besar terhadap putra-putrinya.

 

Besarnya kasih sayang ini terlukis dari ungkapan lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika melihat seorang ibu di antara para tawanan. Kisah ini disampaikan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu:

قَدِمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبِيٌّ ، فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنَ السَبِيِّ تّحْلُبُ ثَدَيْهَا تَسْقَى إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِي السَبِيِّ أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ . فَقَالَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَتَرَوْنَ هَذِهِ طَارِحَةٌ وَلَدَهَا فِي النَّارِ؟ قُلْنَا : لاَ ، وَهِيَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاَ تَطْرَحُهُ . فَقَالَ : لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا.

“Datang para tawanan di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Ternyata di antara para tawanan ada seorang wanita yang buah dadanya penuh dengan air susu. Setiap dia dapati anak kecil di antara tawanan, diambilnya, didekap di perutnya dan disusuinya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya, “Apakah kalian menganggap wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api?” Kami pun menjawab, “Tidak. Bahkan dia tak akan kuasa untuk melemparkan anaknya ke dalam api.” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh Allah lebih penyayang daripada wanita ini terhadap anaknya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5999)



Banyak hal yang bisa menjadi ungkapan kasih sayang. Pun yang demikian tak ditinggalkan oleh syariat, hingga didapati banyak contoh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bagaimana beliau mengungkapkan kasih sayang kepada anak-anak.
Satu contoh yang beliau berikan adalah mencium anak-anak. Bahkan beliau mencela orang yang tidak pernah mencium anak-anaknya.

Kisah-kisah tentang ini bukan hanya satu dua. Di antaranya dituturkan oleh shahabat yang mulia, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:



قَبَّلَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيِّ وَعِنْدَهُ الأَقْرَعُ بْنُ حَابِسِ التَّمِيْمِي جَالِسًا، فَقَالَ الأَقْرَعُ : إِنَّ لِيْ عَشْرَةً مِنَ الوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا . فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَالَ: مَنْ لاَ يَرْحَمْ لاَ يُرْحَمْ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mencium Al-Hasan bin ‘Ali, sementara Al-Aqra’ bin Habis At-Tamimi sedang duduk di sisi beliau. Maka Al-Aqra’ berkata, “Aku memiliki 10 anak, namun tidak ada satu pun dari mereka yang kucium.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memandangnya, lalu bersabda, “Siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5997 dan Muslim no. 2318)

Para ulama menjelaskan bahwa ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ini umum, mencakup kasih sayang terhadap anak-anak maupun selain mereka. (Syarh Shahih Muslim, 15/77)
Begitu pula yang diceritakan oleh istri beliau, ‘Aisyah bintu Abu Bakr radhiallahu ‘anhuma:

جَاءَ أَعْرَبِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : تُقَبِّلُوْنَ الصِّبْيَانَ فَمَا نُقَبِّلُهُمْ ، فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: أَوَ أَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ

“Seorang Arab gunung datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mengatakan, “Kalian biasa mencium anak-anak, sedangkan kami tidak biasa mencium mereka.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Sungguh aku tidak memiliki kuasa apa pun atasmu jika Allah mencabut rasa kasih sayang dari qalbumu.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5998 dan Muslim no. 2317)

Itulah penekanan beliau, sementara gambaran kasih sayang kepada anak yang lebih jelas dan lebih indah dari itu semua didapati dalam diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau menyambut putrinya, Fathimah bintu Muhammad radhiallahu ‘anha. Peristiwa ini dilukiskan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah bintu Abu Bakr radhiallahu ‘anhuma:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ كَانَ أَشْبَهَ بِالنَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلاَمًا وَلاَ حَدِيْثًا وَلاَ جِلْسَةً مِنْ فَاطِمَةَ . قَالَتْ : وَكَانَ النَّبْيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَآهَا قَدْ أَقْبَلَتْ رَحَّبَ بِهَا ، ثُمَّ قَامَ إِلَيْهَا فَقَبَّلَهَا، ثُمَّ أَخَذَ بِيَدِهَا فَجَاءَ بِهَا حَتَّى يُجْلِسَهَا فِي مَكَانِهِ، وَكَانَ إِذَا أَتَاهَا النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحَّبَتْ بِهِ ، ثُمَّ قَامَتْ إِلَيْهِ فَأَخَذَتْ بِيَدِهِ فَقَبَّلَتْهُ . وَأَنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلًَّمَ فِيْ مَرَضِهِ الَّذِي قُبِضَ فِيْهِ، فَرَحَّبَ وَقَبَّلَهَا، وَأَسَرَّ إِلَيْهَا، فَبَكَتْ، ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيْهَا، فَضَحِكَتْ، فَقُلْتُ لِلنِّسَاءِ : إِنْ كُنْتُ لأَرَى أَنَّ لِهَذِهِ الْمَرْأَةِ فَضْلاً عَلَى النِّسَاءِ، فَإِذَا هِيَ مِنَ النِّسَاءِ ! بَيْنَمَا هِيَ تَبْكِي إِذَا هِيَ تَضْحَكُ ! فَسَأَلْتُهَا : مَا قَالَ لَكَ ؟ قَالَتْ : إِنِّي إِذًا لَبَذِرَةٌ ! فَلَمَّا قُبِضَ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ : أَسَرَّ إِلَيَّ فَقَالَ : (( إِنِّي مَيِّتٌ )) فَبَكَيْتُ ، ثُمَّ أَسَرَّ إِلَيَّ فَقَالَ : (( إِنَّكِ أَوَّلَ أَهْلِي بِي لُحُوْقًا )) فَسَرَرْتُ بِذَلِكَ فَأَعْجَبَنِي .

“Aku tidak pernah melihat seseorang yang lebih mirip dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bicara maupun duduk daripada Fathimah.” ‘Aisyah berkata lagi, “Biasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila melihat Fathimah datang, beliau mengucapkan selamat datang padanya, lalu berdiri menyambutnya dan menciumnya, kemudian beliau menggamit tangannya dan membimbingnya hingga beliau dudukkan Fathimah di tempat duduk beliau. Demikian pula jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam datang kepada Fathimah, maka Fathimah mengucapkan selamat datang pada beliau, kemudian berdiri menyambutnya, menggamit tangannya, lalu mencium beliau. Suatu saat, Fathimah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika beliau menderita sakit menjelang wafat. Beliau pun mengucapkan selamat datang dan menciumnya, lalu berbisik-bisik kepadanya hingga Fathimah menangis. Kemudian beliau berbisik lagi padanya hingga Fathimah tertawa. Maka aku berkata pada para istri beliau, ‘Aku berpandangan bahwa wanita ini memiliki keutamaan dibandingkan seluruh wanita, dan memang dia dari kalangan wanita. Dia tengah menangis, kemudian tiba-tiba tertawa.’ Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Apa yang beliau katakan padamu saat itu?’ Fathimah menjawab, ‘Kalau aku mengatakannya, berarti aku menyebarkan rahasia.’ Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah wafat, Fathimah berkata, ‘Waktu itu beliau membisikkan padaku: Sesungguhnya aku hendak meninggal. Maka aku pun menangis. Kemudian beliau membisikkan lagi: Sesungguhnya engkau adalah orang pertama yang menyusulku di antara keluargaku. Maka hal itu menggembirakanku’.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no.725)

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, seorang shahabat yang senantiasa menyertai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melayaninya pun turut mengungkapkan bagaimana rasa sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada putranya yang lahir dari rahim Mariyah Al-Qibthiyyah radhiallahu ‘anha:

مَا رَأَيْتُ أَحَدًا كَانَ أَرْحَمَ بِالعِيَالِ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صِلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ : كَانَ إِبْرَاهِيْمُ مُسْتَرْضِعًا لَهُ فِي عَوَالِي الْمَدِيْنَةِ . فَكَانَ يَنْطَلِقُ وَنَحْنُ مَعَهُ . فَيَدْخُلُ البَيْتَ وَإِنَّهُ لَيُدَّخَنُ . وَكَانَ ظِئْرُهُ قَيْنًا . فَيَأْخُذُهُ فَيُقَبِّلُهُ ثُمَّ يَرْجِعُ

“Aku tak pernah melihat seseorang yang lebih besar kasih sayangnya kepada keluarganya dibandingkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Anas berkata lagi, “Waktu itu, Ibrahim sedang dalam penyusuan di suatu daerah dekat Madinah. Maka beliau berangkat untuk menjenguknya, sementara kami menyertai beliau. Kemudian beliau masuk rumah yang saat itu tengah berasap hitam, karena ayah susuan Ibrahim adalah seorang pandai besi. Kemudian beliau merengkuh Ibrahim dan menciumnya, lalu beliau kembali.” (Shahih, HR. Muslim no. 2316)

Kisah ini menunjukkan kemuliaan akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, serta kasih sayangnya terhadap keluarga dan orang-orang yang lemah. Juga menjelaskan keutamaan kasih sayang terhadap keluarga dan anak-anak, serta mencium mereka. Di dalamnya juga didapati kebolehan menyusukan anak pada orang lain. Demikian dijelaskan oleh Al-Imam An-Nawawi. (Syarh Shahih Muslim, 15/76)

Kalaulah dibuka perjalanan para pendahulu yang shalih dari kalangan shahabat radhiallahu ‘anhum, hal ini pun ditemukan di kalangan mereka. Bahkan dilakukan oleh shahabat yang paling mulia, Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakr radhiallahu ‘anhu tiba di Madinah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hijrah, dia mendapati putrinya, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha sakit panas. Al-Barra’ bin ‘Azib radhiallahu ‘anhu yang menyertai Abu Bakr saat menemui putrinya mengatakan:

فَدَخَلْتُ مَعَ أَبِيْ بَكْرٍ عَلَى أَهْلِهِ، فَإِذَا عَائِشَةُ ابْنَتُهُ مُضْطَجِعَةٌ قَدْ أَصَابَتْهَا حُمَّى، فَرَأَيْتُ أَبَاهَا يُقَبِّلُ خَدَّهَا وَقَاَل : كَيْفَ أَنْتِ يَا بُنَيَّة ؟

“Kemudian aku masuk bersama Abu Bakr menemui keluarganya. Ternyata ‘Aisyah putrinya sedang berbaring, terserang penyakit panas. Maka aku melihat ayah ‘Aisyah mencium pipinya dan berkata, ‘Bagaimana keadaanmu, wahai putriku?‘.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 3918)

Inilah kasih sayang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seorang ayah yang paling mulia di antara seluruh manusia. Tak segan-segan beliau mendekap dan mencium putra-putri dan cucu-cucunya. Begitu pun yang beliau ajarkan kepada seluruh manusia. Keberatan apa lagikah yang menggayuti seseorang yang mengaku mengikuti beliau untuk mengungkapkan kasih sayang di hatinya dengan pelukan dan ciuman kepada anak-anaknya?
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab





Sumber: http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=167





inspirasi sahabat